Senin, 20 Februari 2012

UMUR
Oleh Zahirin al-Ama
            Apa yang paling dekat dan yang paling jauh dengan kita? Begitu Buya Muhammad Ali, yang merupakan ketua MUI Kabupaten Sarolangun Bangko waktu itu bertanya kepada kami pada saat saya masih sekolah di MTsN Bangko dulu. Buya itu janji memberikan hadiah bagi siapa saja yang mampu menjawab dengan benar. Tentu saja hampir separohnya dari kami menjawab dengan sangat semangat, termasuk saya sendiri. Jawaban kami macam-macam, ada yang menjawab, ayah, ibu, kekasih, rumah, sekolah, malaikat, emas, berlian, syurga, dan lain sebagainya. Namun tidak ada satu pun dari jawaban itu yang tepat dan benar. Lantaran tidak ada lagi yang bersuara lalu beliau pun menjawab, yang paling dekat adalah maut sedangkan yang paling jauh adalah masa lalu.
            Kisah di atas adalah bagian dari masa lalu saya pada tahun 1997 silam. Kini, Ketika saya melihat para siswa-siswi berpakaian putih-biru, ingatan saya langsung tertuju pada kenangan di mana saya juga pernah mengalami masa itu, saya membayangkan betapa waktu itu masa-masa transisi yang sulit mencari jati diri, ingin lepas dari aturan-aturan orang tua, merasa sangat bahagia sekali, kadang merasa marah dikatakan masih anak-anak, mulai membentuk gank-gank, mencari gara-gara, mengerjai guru, dan banyak lagi lainnya. Mengingat itu saya menjadi senyum-senyum sendiri. Kadang saya ingin kembali ke masa itu. Tapi saya sadar tak akan bisa. Begitu pun teman-teman saya yang lain.
            Setiap orang punya masa lalu yang menjadi kenangan. Kadangkala kenangan indah menjadikan seseorang ingin kembali ke masa itu. Merasakan kembali untuk kedua kalinya. Atau kenangan pahit menjadikan seseorang ingin melenyapkan itu dari memori dan tak akan sekali-kali mengulangi lagi. Itu menjadi pelajaran yang sangat berharga. Namun Indah dan pahitnya sebuah kenangan bagaimanapun ia tetaplah kenangan. Ia akan terus menjauh sejauh-jauhnya. Tak terjangkau, walaupun dikejar dengan menggunakan pesawat jet sekalipun.
            Kita juga bisa mengumpamakan seperti, seseorang yang mempunyai kekasih hati. Dalam prosesnya cintanya mereka menuju ke jenjang pernikahan. Hidup bersama dalam bingkai keluarga. Hingga akhirnya Allah mengkaruniai anak. Maka menjadi lengkaplah kebahagiaan sebuah keluarga. Namun di dalam perjalanan bahtera rumah tangga tersebut tiba-tiba saja sang istri jatuh sakit berhari-hari bahkan berminggu-minggu hingga akhirnya meninggal. Lelaki pemilik perempuan itu menjadi merasa sangat kehilangan, ia merasa kejadian ini hanyalah mimpi baginya. Berkali-kali ia cubit pipi, toh akhirnya bagaimana pun juga ia menjadi sadar bahwa ini memang benar-benar di alam nyata. Lalu ia hanya bisa berandai-andai ingin kembali seperti yang dulu lagi. Namun tidak bisa. Jangankan kembali ke masa itu, kembali pada satu detik masa yang telah ia lalui saja tidak bisa.
            Seperti cerita lain. Seorang wanita yang memiliki paras cantik, muda dan enerjik. Betapa ia sangat berbunga pada masa ini. Ia dikagumi banyak pemuda, dikerumuni layaknya gula, diperebutkan, dicintai diam-diam dalam hati, siapapun ingin mengenalnya lebih dekat, dan tentu saja mereka akan mendapatkannya dengan berbagai cara. Tapi bagaimanapun cantiknya wanita itu maka waktu akan merubah parasnya, kulit kencangnya akan dikeriputkan, mata jernihnya dikaburkan, jalannya digoyahkan, adakah para pemuda sekarang masih berminat memperebutkan?
            Umur adalah misteri. Seperti sungai. Ia terus berjalan tiada henti sampai batas (mati). Masa lalu adalah kenangan. Masa sekarang adalah tempat di mana kita hadir dan berada. Masa mendatang adalah masa yang belum pernah kita rasakan yang akan kita lalui. Dan yang tidak kalah penting adalah Kematian itu pasti, maka bersiaplah.

Embun Penyejuk Hati
Adzkia, 26 Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar