Senin, 20 Februari 2012

Marapulai Baru

MARAPULAI BARU
Cerpen Zahirin al-Ama

                Aku lega. Ijab kabul berlangsung lancar. Seperti orang-orang yang sudah pernah menikah, aku pun merasa gugup. Namun syukur tidak terlalu banyak rintangan yang aku hadapi pada prosesi akad nikah ini, hanya sekali lewat saja, calon mertua mengucapkan ijab dan aku menjawab kabul. Lalu dua orang saksi mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata“sah”.
                Mulai hari ini statusku berubah, aku bukan lagi seorang bujang yang hidup sendiri, tapi aku telah menjadi seorang suami. Sudah berkeluarga. Menjadi pemimpin bagi istri dan anak-anakku nanti. Artinya mulai hari ini juga berakhir sudah sindiran-sindiran dari teman-teman sesama guru di sekolah. Sindiran-sindiran dari teman-teman lain yang sudah berkeluarga. Setiap hari. Setiap saat. Selalu ditanyakan kapan, kapan dan kapan juga lagi? Walau mereka bercanda. Namun pertanyaan-pertanyaan mengeroyok silih berganti itu membuat hatiku tertekan.  Tidak nyaman.
Selanjutnya aku dan istriku diharuskan melaksanakan prosesi sambah bakti pada Ayah Bunda. Ayah Ibu mertua. Dan terhadap kakek dan nenek dari kedua belah pihak. Kemudian bersalam-salaman dengan orang-orang ramai yang hadir di masjid Ahlul Jannah ini.
Setelah acara sambah bakti. Aku memasang cincin ke jari manis kanan Ainul Zahara, istriku. Darahku berdesir-desir kala tanganku menyentuh kulit putihnya. Seumur-umur aku tidak pernah menyentuh tangan perempuan yang bukan muhrim. Kali ini aku harus mulai memegang tangan Ainul Zahara. Lembut, halus dan begitu gemulai. Aku menatap matanya sekilas. Aduhai, ia adalah seorang perempuan berkerudung yang murah senyum. Parasnya manis. Hidungnya bangir. Alis matanya hitam tebal. Sungguh ia adalah seorang perempuan yang paling cantik di dunia yang pernah aku kenal. Aku adalah laki-laki yang beruntung mendapatkannya. Sebenarnya kalau tidak ada orang di sini pastilah aku ingin menatap matanya lama-lama. Karena banyak orang aku segan. Malu-malu pada orang ramai itu. Begitu pun ketika dijepret oleh fotografer. Walau kami sudah sah sebagai pasangan suami-istri apa salahnya aku merangkulnya mesra. Tapi tanganku berat. Aku dan istriku  mengambil jarak. Beberapa kali fotografer mengibas-ngibas tangannya agar aku lebih mendekat. Entahlah mungkin ini baru pertama kali. Canggung.
Ainul Zahara, ia adalah gadis yang aku lamar enam bulan lalu. Bersama dua orang temanku dari Padang dating. Kami  langsung ke rumahnya. Aku yang meminta mereka  menemaniku datang ke sana untuk melamar. Kedatanganku ke sana tanpa sepengetahuan Ayah Bunda. Untuk  mengadakan penjajakan pertama. Kebetulan ia adalah teman adik perempuanku, Siti Maimunah. Siti Maimunah lah yang memberitahu agar aku segera datang ke rumahnya untuk melamar. Untuk kepastian ya atau tidaknya, pesan perempuan itu, begitu kata adikku. Aku mengiyakan, aku juga berpesan kepada Siti Maimunah agar merahasiakan kepergianku ke rumah Ainul Zahara itu. Kalau Bunda bertanya, jawab saja aku dan teman-temanku itu pergi ke pantai Gondoriah Pariaman. Pergi jalan-jalan menghilangkan jenuh pikiran.
Menurut adat Minang, pihak perempuanlah yang seharusnya datang melamar calon mempelai pria. Merekalah yang seharusnya menemui kedua orang tuaku. Bukan sebaliknya. Rupanya hal ini telah terbaca oleh pihak perempuan. Akhir pertemuan itu, aku mendapat angin segar, pihak perempuan berjanji akan datang ke rumahku. Menemui kedua orang tuaku. Menyampaikan niat baik mereka.
Sebulan menunggu, akhirnya mereka datang sesuai yang dijanjikan, menemui Ayah Bunda. Rombongan pihak perempuan dipersilahkan naik ke atas rumah dan didudukkan di sekitar seprai yang telah ditata makanan-makanan kecil. Mamak dari pihak keluarga perempuan melakukan pasambahan. Sambah yang dilakukan dengan mengangkat kedua telapak tangan di depan wajah ini ditujukan pada ninik mamak yang telah ditunjuk oleh pihak keluargaku. Aku hanya menyimak saja, tidak mengerti sama sekali apa yang dibuat oleh mereka. 
Beberapa rangkaian telah kami lewati. Selanjutnya aku diharuskan melalui beberapa prosesi sesuai adat istiadat Minangkabau. mulai dari batimbang tando. Mempertukarkan tanda ikatan masing-masing. Kemudian mahanta siriah oleh pihak anak daro. Setelah itu babako-babaki. Selanjutnya melewati malam-malam bainai. Manjapuik marapulai. Keluarga-keluarga pihak terdekat calon pengantin perempuan menjemputku dengan beberapa bawaan; sirih lengkap dalam cerano, pakaian pengantin lengkap dari tutup kepala sampai ke alas kaki yang akan aku pakai. Dan nasi kuning singgang ayam dan lauk-pauk yang sudah dimasak serta makanan kue lain-lainnya sebagai buah tangan. Dan banyak lagi yang lainnya yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu.
Seusai akad nikah. Pihak anak daro beserta rombongan berjalan dulu ke rumahnya. Mereka; keluarga-keluarga terdekat anak daro, termasuk menantu berpasangan suami-istri. Ninik mamak, pasundan. Sementara aku dari pihak marapulai beserta rombongan berjalan menyusul. Di samping kiri bunda sedang di samping kanan ayah.
Udara cerah. Langit biru dihiasi awan awan putih berarak. Aku diarak sepanjang jalan menuju rumah anak daro. Aku merasa gagah mengenakan pakaian marapulai. Mengenakan sepatu kulit warna hitam mengkilat, celana dasar hitam dengan kemeja putih yang diluarnya dilapisi jas, kerah meja keluar menjepit leher jas, memakai kopiah dengan kain sarung yang disandang di bahu.
Di dalam rumah anak daro, orang-orang sudah ramai. Duduk mengelilingi hidangan untuk disantap. Aku bersama ninik mamak dan rombongan dari kaumku masuk. Duduk. Beberapa saat acara malewakan gala marapulai dilanjutkan. Salah seorang ninik mamak kaumku mengangkat melakukan pasambahan setelah dipersilahkan.
“Ketek banamo, gadang bagala. Perkenankan kami menyebut Gala anak kemenakan kami,  Malin Bagindo.” Tidak beberapa lama ninik mamak memulai memanggil gelarku, “malin bagindo.”
“Yo ambo,”
“Malin Bagindo.” Sahut yang lain silih berganti.
“Yo, Ambo.”
Demikian seterusnya hingga selesai.
Selanjutnya, di depan orang banyak kami harus melaksanakan prosesi adat balantuang kaniang di depan orang banyak. Aku gugup, ah kenapa harus gugup ia adalah istriku yang sah. Setelah balantuang kaniang usai. Berikutnya, kami dipersilahkan untuk mangaruak nasi kuniang. Aku dan istriku berebut mengambil daging ayam yang tersembunyi di dalam daging-daging itu. Ah…, melaksanakan ritual-ritual adat cukup melelahkan. Namun kelelahan itu sirna sekejap kala Ainul Zahara tersenyum padaku. Senyumnya sungguh manis, tiap kali ia senyum, pipi merah meronanya membentuk lesung pipit. Cantik. Cantik sekali.
*              *              *
                Hari ini adalah hari yang kutunggu-tunggu. Maanta marapulai ke rumah anak daro. Alamak, Artinya malam ini juga aku akan bersama dengan anak daro. Di luar hari hujan. Udara dingin merasuk sunsum. Amboi, aku tersenyum-senyum sendiri. Alam betul-betul mengerti kalau aku sedang bahagia. Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Do’aku terkabul juga akhirnya. Do’a meminta hujan dimalam pertama.
Benar Kata teman-temanku sesama guru di sekolah. Kalau belum menikah itu rugi. Hidup sendiri. Mencuci sendiri. Makan sendiri. Bawa motor tanpa tumpangan. Dan yang paling memprihatinkan lagi adalah tidur sendiri. Ahh…, itu dulu. Saat aku masih bujang. Sekarang aku tidak sendiri lagi. Sudah berdua dengan seorang perempuan yang akan menemaniku siang dan malam.
                Dengan sebuah mobil kijang Innova. Aku meluncur ke rumah anak daro dengan ditemani tiga orang teman laki-lakiku. Satu orang di antaranya telah menikah sedangkan dua orang lagi masih bujangan.
                Hujan makin lebat mengguyur. Jalanan becek. Aku tertawa di dalam hati yang tertahan. Rasa-rasanya ingin segera sampai di rumah itu. Tak tahan lagi menunggu lama. Sedangkan teman-temanku mengobrol sesamanya. Sesekali meledek. Sesekali ngeres.
                Di depan rumah telah menunggu dua beberapa orang perempuan memegang payung. Begitu kami sampai langsung saja mereka mendekat. Mereka memayungi kami sambil berjalan menuju masuk.
                Malam kian merangkak larut. Tadi do’a selamat sudah dibacakan oleh labai. Kemudian dilanjutkan makan-makan. Di sini, teman-temanku masih terlibat mengobrol-obrol denganku.  Setiap mereka ngeres menyindir. Setiap kali itu pula kami tertawa.
                Waktunya istirahat. Mataku sudah tidak bisa diajak kompromi. Beberapa orang temanku menyarankan agar aku segera masuk ke kamar anak daro. Entah kenapa, tiba-tiba aku enggan tidak mau. Padahal tadi begitu menggebu-gebu. Beberapa kali dibujuk, aku masih enggan tidak mau. Begitu juga dengan ayah mertuaku, selanjutnya Ibu mertua.
                “Malin, tempat istirahatmu di dalam. Bukan di sini. Di sini tempat kami.” Kata si Farhan. Ucap temanku yang sudah menikah itu.
                Aku menggeleng-geleng tanpa menjawab. Aku merasa enggan saja. Meninggalkan teman-teman yang tergolek istirahat di luar. Namun belum sempat aku berpikir panjang. Ketiga orang temanku bersama-sama langsung menyeretku ke pintu kamar anak daro yang rupanya tidak terkunci. Mereka mendorongku masuk. Sedang ayah dan ibu mertuaku senyum-senyum simpul. Aku tidak memberontak, aku telah melihat wajah anak daro. Ia telah menunggu di atas dipan sambil tersenyum menyambut pangerannya. Aduhai mak, wajahnya putih mulus. Beralis mata lentik. Bertubuh…, Aku sudah tidak tahan hendak menerkamnya. Tapi teman-temanku masih mendorong-dorong tubuhku. Saking kuatnya dorongan itu, aku melewati pintu kamar dengan terhuyung. Dan buk.
                Aku terjatuh dari atas dipan. Mengusap-usap mataku. “Ah, sial, ternyata mimpi. Sial, sial, sial sekali.”
                Hari sudah pagi. Shubuh beberapa menit tadi berlalu. Bersamaan dengan itu handphone-ku bordering, ada panggilan. Aku mengambilnya, di layar terpampang, Dimas. Aku lalu menekan tombol jawab. “Assalamu’alaikum!” sapaku.
                “Wa’alaikum salam.!” Jawabnya dari seberang. “Cuma mengingatkan, hari ini kita akan pergi ke Pariaman untuk menghadiri baraleknya Rahmadil. Kumpul di depan sekolah Adzkia jam 07.00 Wib. On time, ok!
                Seperti petinju yang dipukul KO tiga ronde. Lemah tiada bertenaga aku menjawab. “Oke, oke, oke. Terimakasih sudah mengingatkan.”
                “Sama-sama, assalamu’alaikum.”
                “Wa’alaikum salam.”
                Aku bergegas whudu’ melaksanakan sholat shubuh. Menghadap Sang Ilahi. Meminta kepada-Nya agar diberikan seorang pendamping yang shalehah. Bidadari dunia dan akhirat.

EMBUN PENYEJUK HATI
Padang, 05 Maret 2011

KADO PERNIKAHAN UNTUK SAHABAT. RAHMADIL DAN LISA. SELAMAT MENEMPUH HIDUP BARU SEMOGA MENJADI KELUARGA SAKINAH, MAWADDAH DAN WARAHMAH DALAM RIDHO ALLAH


Mohon maaf kalau ada kata-kata atau istilah-istilah di dalam cerita ini yang kurang tepat. Maklum, penulisnya bukan asli Minang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar