Senin, 20 Februari 2012

Cerpen

ASAP DI BELAKANG RUMAH
Cerpen Zahirin al-Ama

            Asap mengepul ke udara. Ibu sedang membakar sampah dari daun-daun kering yang berjatuhan dari pohon pepaya, kuini dan buluh di belakang rumah. Juga sampah plastik kemasan kerupuk Titi, anak gadis kecilnya yang masih duduk di bangku SD, serta plastik bekas belanjaan Ibu. Maupun sampah bungkus rokok Ayah yang ia buang begitu saja.
Jingga di langit berpendar. Matahari yang bersembunyi di balik awan perlahan-lahan turun. Di sana, burung layang-layang mengepak-ngepak sayap menuju pulang. Pekerjaan rampung. Ibu berkacak pinggang sembari menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya begitu saja tanpa beban. Peluh yang mengucur di kening disapunya dengan punggung tangannya. Senja merangkak malam. Ibu beranjak membawa sapu lidi dan serok sampah ke dalam rumah. Membiarkan api yang masih membakar sampah yang tersisa.
Jangkrik berbunyi bersahut-sahutan. Menyambut malam menjelang. Suara azan berkumandang nyaring dari surau. Ayah telah bersiap dengan pakaian lengkap hendak sholat sekaligus mengantar Titi ke surau, mengaji. Di jalan yang berjarak beberapa ratus meter, penghubung rumah dan surau cahaya remang. Seperti biasa, setiap Magrib sore Ayah pergi ke surau. Sholat berjama’ah bersama warga kampung. Menitipkan Titi pada guru mengaji. Kemudian kembali lagi waktu sholat Isya.
Rumah panggung itu terlihat samar-samar cahaya. Asap dari sampah pembakaran oleh Ibu masuk memenuhi ruang-ruang di rumah. Ayah yang duduk membaca yasin di ruangan tengah menjadi terganggu.
Beberapa kali ia membuka kacamata lalu mengusap-usap matanya karena perih diterpa asap yang menyebar. Masuk ke ruang-ruang di rumah. “Uhh…, banyak asap, tadi Ibu membakar sampah ya? Perih mata Ayah.” Ayah bicara dengan nada tinggi. Ia urung melanjutkan yasin yang sudah hampir setengah ia baca. Lalu beranjak keluar sambil batuk-batuk, mengusap-usap mata. Mencari udara segar.
“Iya,” jawab Ibu sama. Setengah berteriak dari dapur. “Sengaja, biar nyamuk-nyamuknya pada kabur!”
Berbeda dengan di dalam rumah. Di luar, udara dingin perlahan menyelimuti. Langit di atas gelap, tiada cahaya bulan tiada pula cahaya bintang. Di balai bambu usang lapuk yang dibuat oleh orang tua ayah, kakeknya Titi, ia duduk. Menyulut sebatang rokok. menghisap asapnya dalam-dalam lalu menghembuskannya lepas begitu saja ke udara.
Di atas balai ini, ingatan ayah menerawang kemasa lalu. Kenangan ketika ia masih kecil. Ketika masih lugu-lugunya. Seusia anaknya sekarang, Titi. Mengenangnya, betapa ingin ia kembali kemasa itu. Masa bahagia kanak-kanak.  Ada satu kenangan terlintas dalam ingatannya, yaitu mencari ikan bersama kakeknya Titi. Buat lauk pauk. Makan di rumah kebun bersama emak, neneknya Titi.
Memancing, menjala, memasang bubu. Karena lebar sungainya kecil, kadang-kadang Ayah bersama Kakek menimba airnya. Sungai dibendung dengan bambu, potongan-potongan kayu, selanjutnya  agar air tertahan maka ditambal dengan tanah liat. Kakek membuat bendungan sampai tiga. Bendungan siap. Lalu Ayah bersama Kakek mulai menimba dengan sayak-sayak bekas hingga airnya menyusut kering. Saat kering ikan-ikan di dalamnya menggelepar-gelepar, melompat-lompat. Ayah menangkapnya dengan riang gembira. Tak ayal, Ayah bersama Kakek kembali ke rumah dengan membawa berkilo-kilo ikan.  Begitulah seterusnya menjelang Ayah melanjutkan sekolah pesantren di kota. Ia masuk hutan, mencari ikan di sungai yang belum tercemar. Di hutan yang luas dan terbuka.
Namun ada cerita lain yang menjadi kenangan pahit Ayah. Kenangan yang tidak bisa dilupakan seumur hidupnya. Pada hari itu, ia disuruh Nenek mengambil air di sumur tetangga. Kata Nenek, mengambil airnya dengan cara ditimba. Ayah yang belum pernah sekali pun mengambil air pergi dengan sebuah ember. Ayah melangkah dengan semangat sekali. Di sumur, karena badan Ayah yang pendek. Ia sama sekali tidak dapat melihat air di dalam sumur. Karena terhalang oleh semen beton pembatas.
Ayah menarik tali timba yang menjela begitu saja di lantai semen. Berat. Ia tarik dengan sangat keras. Tak ayal, karena saking kerasnya katrol pemutar tali lepas. Entah bagaimana sebabnya, tiba-tiba saja katrol itu mengenai dagu Ayah. Robek. dan pingsan. Tahu-tahunnya setelah sadar, ada tujuh jahitan di dagunya.
Mengingat itu, Ayah merasa ngeri. Namun karena tingkah polahnya yang lugu. Ia jadi senyum-senyum sendiri.
Dikala sedang melamun begitu rupa. Ibu menyahut setengah berteriak dari dapur. “Titinya dijemput, yah, kelamaan menunggu nanti ia menangis.”
“Ya, ya…!” Lalu seketika itu ia berangkat menuju surau.
Sementara langit terlihat gelap semakin pekat. Tiada cahaya bulan tiada berbintang. Jangkrik-jangkrik menyanyi ria sesuka mereka.
*          *          *
            Ayah, Ibu dan Titi berada di suatu tempat yang entah. Asing. Tidak mereka kenali dimana. Ayah menggandeng ibu di sebelah kanan dan menggendong Titi di punggung. Mereka seperti terkepung asap tebal yang datang entah dari mana, namun tiba-tiba begitu saja. Asap yang tebal. Menghalangi pandangan. Tidak nampak jalan, pohon, rumah dan apa pun. .Mereka bingung, khawatir dan takut, namun mereka tetap berjalan dalam asap putih tebal.  Terus melangkah tanpa arah tujuan. Kiri, kanan, maju, mundur sama saja.
            Mereka terbatuk-batuk. Asap-asap itu masuk ke mulut-mulut mereka. Terhisap saat bernafas. Ibu berpegangan erat pada Ayah, seakan tidak ingin lepas sedikit pun. Sedang Titi di punggung menangis memilukan. Ayah letih. Ibu pun tak berdaya. Dan Titi menangis tak bisa berhenti walau berkali-kali dibujuk Ibu.
            Dalam kabut putih tebal. Banyak bunyi suara-suara. Entah darimana. Ayah tiada bisa melihat. Ibu dan Titi sama, tidak bisa melihat. Terhalang kabut yang makin lama makin kebal. Dekat sekali. Seperti suara orang-orang berteriak.
            Ayah terus berjalan. Membimbing Ibu. Menggendong Titi di punggung. Tiada tentu arah. Tiada tentu tujuan. Sedang kabut asap itu berubah panas. Sangat panas. Ayah berteriak sekeras-kerasnya, ibu pingsan dan Titi menjerit histeris sangat memilukan.
            “Bangun…, bangun,…bangun…!”
            Ayah tersintak bangung. Ternyata ia mimpi. Setelah sadar tahu-tahunya ia berada dalam kepungan asap. Ia menjerit pilu dalam hati tertahan. Rumahnya kebakaran. Tanpa pikir panjang, sesigap itu ia berlari keluar dengan dibantu oleh seorang warga yang menerobos masuk.
            Di luar. Orang-orang ramai membantu menyiram air. Memadamkan api yang mengamuk hebat. Membakar bagian belakang rumah panggungnya.
            “Ibu…, Titi…,!” Ayah berteriak sekeras-kerasnya melihat rumah panggungnya terbakar. Ia berlari masuk. Hendak menyelamatkan Ibu dan Titi. Namun sesigap itu ditahan oleh warga.
            “Ibu sudah kami selamatkan, demikian juga Titi.” Kata salah seorang warga seumurannya yang sedang menenteng ember berisi air. Nafasnya terengah-engah. Lalu berucap “Mereka, di sana, insyaallah aman, Cuma pingsan saja, sebentar juga siuman. Sabar ya pak!” Ujar bapak itu selanjutnya menenangkan Ayah.
            Langit di atas semakin kelam. Tiada cahaya bulan. Tiada pula cahaya bintang. Karena sigap warga. Api akhirnya berhasil dipadamkan. Separoh rumahnya bagian depan berhasil diselamatkan dari amukan si jago merah. Mata ayah nanar. Melihat rumahnya yang hanya tinggal separoh.
Menjelang dini hari, satu persatu warga bubar. Kembali ke rumah masing-masing. Ayah memeluk Ibu dan Titi yang sudah siuman dari pingsan. Beberapa orang warga menawarkan untuk istirahat menginap di rumah mereka. Menjelang istirahat malam itu. Mereka melihat puing sebagian rumah hangus hitam itu tinggal asap. Asap kecil yang mengepul kecil. Membumbung tinggi ke udara. Asap tempat Ibu membakar sampah di belakang rumah.

ZAHIRIN AL-AMA
Embun Penyejuk Hati
29 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar