Senin, 20 Februari 2012

Cerpen

JANJI YANG INGKAR
Cerpen Zahirin al-Ama

            Seperti telah dijanjikan minggu lalu itu. Ketika aku berkunjung ke rumahnya di Pariaman. Ketika aku hendak beranjak pergi kembali ke Padang ia mengajakku pergi baralek ke Painan, Pesisir Selatan, memenuhi undangan pamannya di sana. Ke pesta perkawinan adik mamaknya itu ia ajak pergi bersama, katanya. Pergi baralek sekaligus jalan-jalan dengan motorku, ujarnya waktu itu pula. Karena ia tidak punya kendaraan.
Aku suka jalan-jalan. Pergi refreshing. Untuk menghilangkan stress. Menghilangkan penat di akhir pekan setelah seminggu bekerja di kantor. Aku yang sudah siap-siap hendak berangkat pulang ke Padang sore itu tentu tertarik dengan tawarannya. Dengan tawarannya pergi ke suatu tempat yang jauh untuk jalan-jalan. Di atas motor yang mesinnya sudah kuhidupkan aku matikan lagi. Awalnya aku tidak percaya, lantaran ia dulu pernah ingkar janji. Sekali. Tapi cukup membuatku kecewa. Namun kali ini aku pastikan betul bahwa ia tidak akan mengingkari janji yang sama seperti dulu. Ia menggeleng tidak. Ia berusaha meyakinkanku dengan memberikan nomor handphone kakak perempuannya padaku. Ia benar-benar ingin membuktikan padaku kalau kali ini ia tidak akan ingkar. Dari raut wajah itu aku bisa membaca keseriusannya. Aku senang. Dan aku pegang teguh janji itu.
Ia berpesan kepadaku di halaman depan rumahnya untuk bertemu di sini ketika itu. Di batas kota, antara kota Padang-Kabupaten Pariaman. Di tempat ini, di bawah gapura selamat datang di sebelah kiri jalan aku sudah duduk menunggu di atas sadel motorku yang aku parkir di atas trotoar beberapa menit lalu. Karena tidak ingin telat aku menyiapkan segalanya malam hari. Menyetrika pakaian. Menyiapkan sarung tangan serta kaos kaki.  Jaket serta pelindung dada. Aku menyiapkan segalanya untuk perjalanan jauh. hingg besoknya aku siap untuk berangkat. Dengan ini aku tidak banyak menghabiskan waktu paginya menyiapkan semua peralatan perlengkapan perjalananku.
Untuk mencapai tempat ini aku harus menempuh jarak lumayan jauh. Berpuluh-puluh kilometer dari rumahku. Untuk cepat sampai aku berangkat pagi-pagi. Alhasil aku bisa di sini sebelum jam tujuh pagi.
Aku datang di tempat yang ia janjikan. Ia terpaksa berjanji demikian karena ia tidak punya handphone buat menghubungi aku. Walau kakak perempuannya punya. Tapi ia segan menggunakannya. Apalagi meminjamnya dalam waktu lama. Walau wartel banyak, tapi dari dulu-dulu ia tidak pernah menghubungiku ketika perpisahan setelah wisuda. Ketika itu aku pernha memberikan nomor handphone-ku padanya. Namun nomor itu hilang saja olehnya entah kemana. Ia juga tidak punya alamat buat mencariku. Dulu, aku pernah memberikan alamat, tapi ia tidak pernah datang berkunjung ke Padang. Pergi ke alamat yang aku berikan itu. Pergi ke rumahku buat silaturrahmi. Sedang aku, tentu tidak bisa menghubunginya. Karena ia memang tidak punya handphone. Aku juga tidak tahu kabarnya. Pun tidak bisa bercerita-cerita panjang tentang kami. Tentang yang lain. Tentang apa saja.
Tapi ia tidak datang. Aku gelisah menunggu. Bermenit-menit. Berjam-jam. Aku belum melihat batang hidungnya. Belum ada tanda-tanda ia akan datang. Beberapa bus yang melintas dari arah Pariaman di jalan sudah lewat beberapa buah. Setiap kali bus itu lewat aku berharap di antaranya berhenti di sini, di hadapanku. Dan aku berharap di dalam bus itu ada Fahmi. Namun bus-bus itu tidak ada yang berhenti. Aku bertambah gelisah. Bosan. Tidak nyaman. Dan memakinya jengkel dalam hati.
Aku mencoba menghubungi melalui kakak Farida. Kakak kandungnya itu. Tapi nomornya tidak aktif. Barangkali juga jaringanya sibuk. Terganggu. Aku coba lagi berkali-kali, aku berharap bisa menghubungi. Kalau jaringan terganggu, mudah-mudahan jaringan yang terganggu itu bisa normal kembali. Namun tetap saja nomor itu tidak aktif. Jelas saja handphone-nya mati. Mungkin sedang dicas. Atau boleh jadi dimatikan sengaja. Karena ada acara yang ia ikuti yang mewajibkan handphone harus di non aktifkan. Entahlah. Aku pasrah sekaligus kesal. Hanya dua saja pilihanku saat ini. Menunggu atau menyusul ke Pariaman. Aku linglung. Kalau harus menunggu aku tidak yakin ia akan datang. Tapi kalau harus menyusul ke Pariaman sana, mana tahu saja ia sekarang sedang berada dalam perjalanan menuju ke sini. Kalau ia ke sini, sementara aku pergi, nanti aku juga yang disalahkan. Aku putuskan menunggu hingga ia datang.
 Untuk menghilangkan jenuh. Aku mengambil sebuah buku dari dalam tasku. Membaca buat beberapa saat. Sedang mentari pagi beranjak meninggi. Menerpa kulitku. Panas. Aku beranjak ke tempat yang teduh di bawah pohon pelindung di tepi trotoar.. Sementara motor aku biarkan tetap parkir di tepi jalan besar. Jalan dua jalur di sebelah kiri arah Padang.
Jalanan ramai. Ramai dilalui kendaraan angkot, bus, sepeda, mobil pribadi dan motor-motor. Abu-abu beterbangan oleh bilasan roda-rodanya. Mengotori udara. Ditambah lagi dengan asap knalpot yang meninggalkan bau tak sedap. Bau yang bisa membuat pusing orang yang menciumnya. Dan dirasakan oleh beberapa orang pejalan kaki melintas sesekali di atas trotoar ini. Mereka menutup mulut dan hidungnya dengan sapu tangan. Atau efeknya juga dirasakan oleh orang-orang penghuni rumah-rumah di sepanjang jalan. Mereka sudah biasa menghirup udara bercampur karbon ini setiap hari.
Terus menyusuri sepanjang trotoar ini. Beberapa meter di sana ada sebuah halte. Tidak jauh dari gapura tempat aku menunggu duduk membaca. Di halte banyak orang-orang menunggu buskota, menunggu angkot buat mengantar mereka bekerja, sekolah atau ke pasar bila ia pedagang.
Aku membaca. Tapi tidak sedikit pun yang aku baca singgah di benakku. Tidak ada satu pun yang aku pahami maksud bacaan. Aku tidak konsentrasi. Buyar oleh gelisah yang menerpa sedari tadi. Dan sekarang hampir tiga jam aku menunggu, sementara ia tidak datang.
“Bangsat!” Makiku dalam hati sambil menamparkan buku ke paha. Aku mengambil handphone mencoba menghubungi kembali kakak Farida. Aku masih berharap Fahmi bisa datang kalau saja ia berhasil menghubungi nomor ini. Atau setidaknya ia tahu kabar apa yang terjadi dengannya. Dengan itu ia bisa lega. Bisa tenang. Tapi nomor itu masih tidak aktif. Sama seperti tadi, tulalit. Aku semakin kesal oleh karena hingga saat ini aku belum bertemu batang hidungnya.
Aku memutar-mutar handphone di tanganku, sembari berjalan mondar-mandir aku tulis sms “Kak sampaikan sama Fahmi, terimakasih atas segalanya. Mulai hari ini tidak usah lagi menemuiku. Aku pun tidak ingin menjumpainya lagi.”
Kukirim sms bernada sindiran pedas melalui handphone kakak Farida itu. Aku menatap ke langit biru. Lalu memandang jauh ke jalan arah Pariaman. Tatapanku seolah menembus batas. Ke Pariaman sana. Ke rumahnya. Sementara kendaraan mobil dan motor terus saja lalu-lalang seperti tiada putus-putusnya. Sekarang keputusan di tanganku. Kalau sudah begini keadaannya aku harus pulang. Lalu tidur di rumah sepuasnya.
            Aku berjalan pulang dengan perasaan sangat dongkol. Aku mengatai-ngatainya dalam hati. Juga memaki-makinya sepanjang jalan. Segala kejelekan apa pun tak ketinggalan aku sebutkan.
*          *          *
Pada malamnya aku ikut ngumpul-ngumpul di balai pemuda. Di sana para pemuda seumuran sebayaku tengah bermain domino, ada juga yang bermain kartu. Sedang aku mengobrol-ngobrol dengan dengan lainnya yang menganggur tidak bermain. Di tempat orang-orang bermain ini aku tidak kebagian. Karena ramainya peserta. Juga aku terlambat datang ke sini. Aku beserta teman-teman yang tidak kebagian bercerita ke sana-kemari. Bercerita tentang acara pemuda bulan depan, juga bercerita tentang yang lain.
“Bagaimana acara pergi baralek pagi tadi?!” Seseorang di antara mereka bertanya. Seseorang itu, selesai berujar ia menghisap rokoknya dalam-dalam. Lalu ia hembuskan begitu saja asapnya padaku. Asap itu mengenai wajahku. Mengabur setelah menerpanya. Aku mengibas-ngibas asap. Dan ia tertawa, diikuti yang lain. Untung saja saat itu aku tidak terbatuk-batuk karenanya. Kalau saja aku terbatuk-batuk. Mampuslah aku diejek-ejek oleh mereka.
“Sial, friend, itu orang ingkar janji sama aku.” Jawabku sambil menunjukkan ekpresi kecewa yang mendalam.
“Ha,ha,ha, jadi kemana saja kamu seharian tadi?!” Tanya yang lain.  Sepertinya ia puas melihatku kecewa.
“Tidur.”
“Tidur…?!” ha,ha,ha, meledaklah lagi tawa mereka bersama-sama.
“Aku benar-benar kesal sama temanku yang satu itu. Enak saja ia mengingkari janji. Janji itu bukan aku yang buat. Tapi ia sendiri yang minta, sejelas itu ia berjanji padaku minggu lalu. Janji bertemu di batas kota Padang-Pariaman.”
“Santai sajalah man!” Ujar yang lain lagi. Orang ini juga merokok. Tapi ia beda dari yang pertama. Ia merokok tidak menghisap asapnya dalam-dalam. Hanya setengah-setengah saja. setengah asap masuk dihisap ke dalam. Setengah lagi lagi di tinggalkan mengepul tetap dalam mulut. Ia juga tidak mau menghembuskan asapnya sembrono ke muka orang lain. Ke mukaku ini. Walau dulu aku juga perokok. Tapi sekarang aku sudah alergi. Sekian lama tidak merokok, aku berusaha untuk menjauhi asap racun yang mengandung empat ribu lebih racun berbahaya itu. Berhenti merokok bagiku itu merupakan anugrah yang tak ternilai harganya.
“Bagaimana aku bisa santai, ia yang berjanji, ia yang mengingkari. Coba kamu bayangkan. Bayangkan hal ini terjadi padamu, apa reaksimu?” Tanyaku sambil mendekatkan mukaku ke mukanya, ke muka orang yang merokok. Jaraknya sangat dekat, hingga jaraknya satu jengkal saja. aku berujar demikian, aku ingin mengajaknya serta berpikir.
“Sudah jelas temanmu aneh begitu. Mengapa juga dipercayai.” Orang ini menjawab seadanya.
Namun sekian banyak orang-orang di sana. Ada beberapa yang terlibat bicara denganku. Aku menceritakan segala keburukannya. Kejelekannya di hadapan mereka. Mereka mendengar. Bahkan mereka bisa kuanggap sebagai pendengar setia.
Hari larut, aku pulang. Begitu pun dengan teman-teman yang lain di pos pemuda. Tinggal beberapa saja. Giliran piket tugas ronda malam ini. Di tengah jalan antara pos ronda dan rumah handphone-ku berdering. Dari nadanya aku jelas tahu bahwa SMS masuk. Aku mengambil handphone. Lalu dengan cekatan menekan tombol-tombol untuk membuka. Di layar inbox tertera di barisannya, Fahmi, nama nomor kakak Farida yang aku buat di handphone-ku. Aku mendesah. Kesalku muncul lagi. Aku coba sabar, sabar sembari menarik nafas dalam-dalam aku membuka SMS. Di layar tertera;
Aslm, innalillahiwainnailaihiroji’un, telah meninggal dunia Fahmi dalam kecelakaan bus menuju Padang, jenazahnya sudah dikuburkan siang selepas Zhuhur.
Hatiku hening. Sehening malam ketika ini. Semua yang bergejolak di batin kini lenyap sirna. Kesal, marah, dan dongkol berganti duka yang mendalam. Duka kehilangan seorang sahabat yang paling dekat. Paling akrab. Duka yang mendalam. Sangat mendalam karena aku belum sempat melihat wajahnya. Wajah sahabatku.

Embun Penyejuk Hati
Padang, 08 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar