Senin, 20 Februari 2012

Cerpen Anak

SEPEDA BAPAK
Oleh Zahirin al-Ama

            Ahmad melingkari tangannya erat di perut bapak. Ia duduk di belakang bapak yang mengayuh-ngayuh sepeda ontelnya. Hari ini dan seperti hari-hari sebelumnya ia berangkat menuju sekolah dengan diantar bapak. Pagi-pagi sekali. Sebelum mentari muncul dari balik bukit yang jauh di timur sana. Sebelum jalanan ramai dipenuhi orang-orang. Maka sepeda onta itu melintas di jalanan yang lengang ini. Di jalan mobil dan motor sesekali melintas pada siangnya. Jalan sepanjang dari rumahnya menuju sekolah.
            Kring…, kring…, kring…! Bapak membunyikan klakson. Lalu melambatkan laju sepeda. Di jalan menjelang sekolah anak-anak ramai berjalan kaki. Mereka ada yang berjalan di sisi kanan dan di sisi kiri jalan. Demi mendengar bunyi klakson. Anak-anak yang berseragam merah-putih itu menepi. Memberi lewat. Kemudian sepeda onta itu melaju di tengah badan jalan hingga berhenti di simpang tiga arah kanan. Di sanalah tempat Ahmad sekolah. Di SD N 24 Kalumbuk. Ia turun tepat di gerbang masuk depan sekolah. Setelah pamit mencium tangan bapak, ia berlari masuk melalui gerbang itu. Kemudian menemui teman-temannya yang sudah hadir lebih dulu darinya di dalam area sekolah. Di lapangan upacara mereka sudah bermain kejar-kejaran. Dan bapak akan pergi berlalu dari sana meninggalkannya. Biasanya setelah mengantar Ahmad, bapak akan berangkat kerja. Lalu akan kembali lagi menjemputnya siang selepas zhuhur.
            Kadang-kadang ketika hujan. Bapak mengenakan mantel seperti orang yang mengenderai sepeda motor. Hanya saja bapak tidak mengenakan helm. Di jalan yang ia lalui, jika ia berpapasan dengan orang-orang yang berjalan kaki. Atau kebetulan ketemu orang yang ia kenal, orang itu sedang mengendarai motor. Maka bapak akan tersenyum ramah pada mereka. Bapak orangnya murah senyum. Juga baik pada semua orang. Pada orang yang telah ia kenal maupun yang tidak ia kenal sekalipun.
*          *          *
            Pada siang ini, selepas sekolah, Ahmad terlihat murung. Entah apa sebabnya. Hingga bapak menjemputnya di depan gerbang sekolah. Namun bapak tidak memperhatikan. Juga tidak mengetahui apa yang terjadi. Sementara ia sendiri pun tidak mau cerita pada bapak. Sesampainya di depan rumah, ia turun dari sepeda lalu setengah berlari menerobos masuk pintu depan yang ketika itu memang terbuka. Karena saat itu ibu sedang menyapu teras depan. Dan Ia masuk begitu saja tanpa menanggalkan sepatu serta kaosnya. Setelah di dalam ia menuju ke kamar dan membanting pintu dengan keras Lalu menguncinya dari dalam. Ibu bingung. Bapak apalagi.
            Ibu yang masih menyapu meninggalkan pekerjaannya yang masih setengah lagi. Perasaannya tidak enak. Ia bergegas menemui Ahmad. Mencari tahu apa yang terjadi. Sedang bapak yang hendak berangkat kerja lagi, ia batalkan buat sementara. Ia parkir sepeda ontanya dulu. Lalu masuk hendak mencari tahu seperti ibu.
            Tok, tok, tok, “Ahmad…, tolong buka pintunya nak!” Sahut ibu dari luar. Sementara bapak di belakang ibu. Diam-diam cemas.
            “Tidak…!” Sahut Ahmad dari dalam dengan suara yang keras.
            Darah ibu berdesir. Naik ke seluruh kepala. Tidak biasanya ia seperti ini. Apa yang telah terjadi di sekolahnya? Apakah ia berkelahi? Lalu karena berkelahi ia terluka lalu menangis. Pikir ibu menduga-duga. Tidak nyaman. Atau barangkali ia dimarahi sama bapak atau ibu guru? Ibu mencoba tenang.
            “Nak, kamu kenapa sayang?”Tanya ibu dengan lembut. Sementara bapak tetap diam saja di belakang.
            “Ahmad malu naik sepeda. Ahmad tidak mau lagi naik sepeda dengan bapak. Teman-teman di sekolah selalu mengejek.”
            Ibu sedih. Di ulu hatinya ia menangis tertahan. Sementara bapak diam saja menunduk mendengar penuturan putranya.
“Oh begitu, ya tidak usah didengar.” Kata ibu datar membujuk.
            “Aku ingin bapak beli motor!” Ujarnya dengan ketus.
            Bapak dan ibu terperanjat kaget Bagaimana mungkin anak sekecil itu bisa berujar demikian. Bagaimana mungkin pula bapak bisa membeli motor. Dari mana ia peroleh uang. Jangankan beli motor, uang buat biaya sehari-hari saja susah. Bapak memegang kening. Lalu beranjak pergi ke luar.
            “Ahmad, kamu tidak boleh begitu sayang. Darimana kita dapat uang untuk membeli motor?”
            “Pokoknya aku tidak mau sekolah sebelum bapak beli motor.”
            “Ya sudah, mengenai motor nanti saja, sekarang kamu makan dulu.” Walau hati sedih. Ibu terus membujuknya dengan lembut. 
“Tidak mau…!” Kali ini suara Ahmad lebih keras dari yang tadi. Ibu serta bapak sedikit kaget. Tambah tidak nyaman.
            “Ya, ya, ya, tapi nasinya sudah ibu siapkan di atas meja di dapur!” Bujuk ibu lagi.
            “Tidak…, aku tidak mau makan…!” Yang kali ini tidak hanya keras. Tapi juga dibarengi isak tangis. Dan ibu serta bapak pergi meninggalkannya. Membiarkannya begitu sesaat. Menunggu hingga amarahnya reda.
*          *          *
            Hingga malam hari. Ahmad belum juga keluar dari kamarnya. Bahkan sudah lewat jam sepuluh malam. Ia sudah memutuskan untuk tidak keluar-keluar dari kamar hingga motor dibelikan. Dengan cara itu, mudah-mudahan bapak dan ibu memenuhi keinginannya. Dan ia bisa bangga pada temannya bila bapak telah punya motor. Lalu ia akan mengatakannya dengan lantang, “inilah motorku”
            Bapak dan ibu lain lagi, ia memang membiarkan sampai mana Ahmad bisa tahan. Mereka tahu, setelah amarahnya reda, atau ketika ia lapar hendak makan nantinya ia juga akan keluar dari kamar dengan sendirinya.
Dugaan bapak dan ibunya benar. Perutnya sangat lapar saat ini. Di samping itu ia juga kebelet hendak pipis. Hendak pecah rasanya ia menahan-nahan sedari tadi. Kalau saja ia keluar, berarti ia dianggap menyerah. Tapi kalau ia tidak keluar, berarti ia akan mati tidak makan. Kalau ia mati dalam keadaan marah sama orang tua, berarti juga ia telah jadi anak durhaka. Kalau anak durhaka pasti akan masuk neraka. Ngeri juga jadinya ia pikir. Aku tidak mau masuk neraka, ujarnya dalam hati. Dan apa hendak dikata, ia harus keluar dari kamar. Agar bisa pipis. bisa makan di dapur.
Mula-mula ia putar kunci pintu kamar dengan pelan-pelan. Setelah pintu terbuka ia memandang berkeliling. Merasa tidak nampak bapak dan ibu. Ia lanjut berjalan dengan mengendap-ngendap menuju dapur.
Di dapur ada ibu. Ibu sedang tertidur duduk di atas kursi, sementara kepalanya di atas meja. Di hadapannya tersaji makanan di bawah tudung. Ahmad lewat dengan hati-hati. Tanpa suara. Menuju kamar kecil. Usai pipis ia lanjut berjalan menuju meja. Masih dengan jalan hati-hati sekali. Tanpa suara ia mengambil satu kursi yang di dekat ibu. Ibu tersadar. Namun ia tidak langsung bangkit dari posisinya. Dalam hati ibu ia sangat senang. Dan Ahmad yang takut ibu terjaga tidur terus berusaha hati-hati menyendok nasi dari tempatnya. Mengambilkan sambal serta sayur-sayurannya di dalam piring-piring. Ahmad makan sangat lahap. Sampai-sampai ia berkeringat.
Usai makan, ia berujar lirih pada ibu yang posisinya ketika itu masih seperti orang tidur, “ibu maafkan Ahmad ya, aku sayang ibu, aku juga sayang bapak. Aku janji tidak akan marah-marah lagi sama bapak dan ibu. Aku juga tidak meminta yang macam-macam. Ahmad janji akan terus sekolah.” Usai berkata demikian. Ahmad mendekat lalu mencium kening ibu.
Ibu bangkit. Seolah-olah seperti orang yang baru bangkit dari tidur. Ia menguap-nguap berkali-kali. Tangannya menutup-nutup hawa dari mulutnya. “Ya udah, tidak apa-apa. Sudah sholat Isya belum?”
Ahmad kaget, ternyata ibu tidak tidur. Ibu mengetahui yang ia lakukan sedari tadi. Ia menekan kepala. “Wah, hampir lupa ibu!” Lalu sesegera itu juga ia langsung menuju kamar mandi untuk berwhudu’.

Embun Penyejuk Hati
Padang, 02 Juni 2010



           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar