Senin, 20 Februari 2012

Cerpen

MENGHALAU RISAU
Cerpen. ZAHIRIN

            Kian larut malam menjangkau. Bersama hawa keheningan yang terpenjara kamar. Menyatu ia hendak buncahkan kegalauan yang tertancap kuat di kepala. Berharap ia akan menyiraminya wewangian bunga-bunga. Rupa-rupa itu menjelma melalui tatapan hati. Dari iringan waktu yang tak pernah lelah berlalu semakin jauh.
            Papa dan mama tak lagi ramah hari ke hari. Selalu mengungkung masa mudanya. Padahal ia sangat ingin sekali menikmati itu layaknya mereka-mereka di sana. pergi camping bersama, kumpul bareng, pesta dan bersuka cita. Sementara ia hanya bisa menatap keramaian dari celah kecil jendela kamar. Itu pun hanya beberapa kendaraan lalu-lalang melintas, anak-anak kecil berlarian, pemuda-pemuda komplek yang ikut pula duduk santai di bangku panjang seberang jalan depan rumah. Menerawang pula akan tatapan batinnya menembus ke tepi pantai, di atas bukit, serta petualang alam bebas, telah dijejali pula seiring menghilangnya mentari di peraduan. Pun bagaimana di hotel, gedung, swalayan tak ketinggalan pula gegap gempita riuhnya.
            Bias kegalauan itu membayang dalam benaknya. Tadi siang suara papa masih terngiang-ngiang di telinga selagi ia masih di Bukittinggi. Ia di sana sudah tiga hari berlalu. Bahwa papa melarang keras ia untuk ikut perayaan tahun baru di sana. Lalu menyuruhnya paksa pulang ke Padang. Teringat pula olehnya bagaimana kecewa teman-temannya yang telah lengkap dengan segala keperluan malamnya melepaskan ia. Juga malunya ia pada si Za, teman yang tempo hari di olok-oloknya tidak gaul, kolot, wong deso, begitu katanya, Kacian... deh lu, lanjutnya sembari menari-narikan telunjuknya seiring goyangan kepala dalam canda. Lantaran Za tidak turut serta merayakannya. Juga pada si Reni adik sepupunya. Ia membayangkan betapa bahagianya dia pergi bersama teman-temannya ke jam Gadang, dan diapun tak ingin Reni mengetahui akan halnya yang batal pergi.
            Malam ini, seperti telah di beritahu tempo hari. Si Za hendak merayakan tahun baru secara sederhana bersama pemuda-pemuda komplek. Tepatnya di jalan depan rumah mama Ani. Dengan iuran alakadarnya, terkumpul cukup lumayan dari belasan anggota buat menu ayam panggang. Mama yang menyiapkan bumbu dengan si Lisa adik sepupu Rina.
            Za datang bersama Rio ke rumah. sementara Ihsan, Dedi dan Iqbal di luar terlihat tengah sibuk mengeluarkan cd, speaker ke tepi jalan depan rumah. Kemudian menyambungkan kabel ke speaker, cd ke arus listrik. Buat persiapan menjelang ayam bakar siap tersaji.
            Ia mengetahui akan kedatangan si Za dari kegelapan kamar. Berharap jangan sampai Za mengetahui kalau ia di sini. Serta menyangka kalau ia sekarang sedang di Bukittinggi.
            Dari dalam ia mendengarkan pembicaraan mereka. Sayup-sayup bercampur suara gelas serta piring yang tengah di cuci, suara bunyi aduan pisau ke papan tempat pemotongan daging. Ia dengarkan suara itu, berharap Rio atau Mama tidak cerita pada si Za kalau ia di sini.
            ”Kalau semuanya tidak boleh pergi, terus bagaimana dengan Rina? Dia kan di Bukittinggi?”
            ”Eh kawan, Rina di kamar tu!” manyun bibir Rio mengarah ke kamar Rina ”Nggak boleh sama papa” lanjutnya
            ”Oh ya!” seru Za girang, lantaran sudah empat hari ini dia tidak melihat batang hidungnya, rasa kangen yang menyelinap sepertinya akan terobati
            ”Brengsek Rio!” geram menggumam Rina dalam hati
            Sesaat itu juga ”Na...! Rina..., keluar lu” teriak Za sembari beranjak dari tempat duduk menuju ruang tengah
            ”Iya...!” menyeru pula ia saat keluar dari daun pintu kamar tak kalah kerasnya, wajah yang terlihat samar dari bias cahaya lampu jalan terlihat masam bercampur tawa yang dibuat terpaksa.
            Za menatapnya, kemudian ”ha, ha, ha...!” meledaklah tawanya mengiringi kusutnnya perasaan orang yang di pandang ”kok di sini? Bukannya di Bukit? Rasain...!”
            Kesal bercampur senang jadi satu di benaknya saat ini. Kesal pada papa dan mama yang tidak memberi kesempatan untuknya sama sekali. Senang karena telah bertemu dengan Za. Seorang sahabat dekat yang pengertian.
            ”He...!” merengek ia menjadikan raut wajahnya merah padam ”dasar orang tua, saya sudah janji dengan teman-teman di sana, kebayang nggak betapa kesalnya” melangkah ke ruangan tempat meja makan, lalu duduk. Melihat ia, Za turut pula duduk di samping kanannya.
            ”Eh, eh orang tua sendiri kok di maki-maki begitu”
            ”Bete!” sesekali menatap wajah Za, sesekali menunduk. Ia merasakan gundah gulana yang menimpa dirinya hilang sekejap, kadang tertawa mengekeh, lantaran ada tempat mencurahkan cerita sialnya.
            ”Pulang, pulang!” ia menirukan suara papa, sambil memajukan bibir, terlihat bentuk bulat monyong, ”nanti tinggal mayat, payah”
            Za hanya diam dalam kata yang mengunci. Tidak habis pikir, kenapa anak zaman sekarang susah sangat diatur.
            ”Ma!” sebuah sahutan terdengar sayup dari ruang dapur.
            Rina bengong seketika, sembari telunjuknya dibuat mencuat di samping keningnya, ”Seperti...?” ia hendak menebak-nebak suara siapa barusan
            ”Reni!” sahut Za mendahului
            ”Iya” menanggapinya segera, langsung saja ia berdiri dan menuju ruang dapur.
            ”Reni...!” mengacungkan telunjuk ke arahnya
            ”Ah, kak Rina?!” setengah kaget tidak percaya, ”Jadi?!”
            ”Iya, tadi siang di suruh papa pulang”
            ”Kamu?”
            ”Sama!”
*          *          *
            Di luar telah ramai dari kalangan pemuda komplek. Ia hanya menyaksikan melalui celah tabir jendela yang di sibaknya dari dalam kamar. Sedari tadi Za mengajaknya untuk ikut serta kumpul bareng bersama. Juga demikian halnya dengan Reni, berkali-kali. Ia paling ngotot, Lantaran tidak ada teman wanita yang diajak ngobrol.
            Malam cerah bertabur bintang menghiasi ruang angkasa. Kerlap-kerlipnya ikut memeriahkan pergantian tahun. Tinggal hanya menghitung jam, sebentar lagi akan bergantilah ia.
            Waktu berlalu terasa singkat, meninggalkan suka dan duka, melekatkan hikmah dan ibrah. Ia merenung, berharap setetes embun untuk kesejukan hati yang dilanda risau tak menentu. Emosi yang tak terkendali. Jiwa yang terpatri dan terkunci sangat dalam menusuk.
            Ia tak lagi menatap hiruk pikuk itu. Mereka yang goyang seirama musik triping dari speakernya. Membakar unggun. Ia tak tahu. Ia hanya membiarkan mereka menikmati masa muda yang tersisa. Bebas tak terbelenggu dari penghalang apapun. Sementara ia akan tetap begini hingga mentari mencibirkan diri esoknya. Diam dalam suara-suara keramaian yang menyerbu gendang telinga dari seluruh sisi. Masih mampu ia redam gejolak bathin yang hendak meledak-ledak.
            Detik meloncat, menit berlalu, jam berganti. Sampailah kini pukul 00.00 Wib,
            ”Selamat tahun baru” berkata lirih tanpa tertuju kepada siapa ia alamatkan. Saat bersamaan itu juga hanya suara riuh yang terdengar dalam diam terpekurnya. Tidak terbesit sedikitpun ia untuk meliriknya, walaupun itu hanya sedikit menyibakkan layar jendela.
            Malam semakin jauh. Bertambah dingin hawa menyapa pori-pori kulit. Suara-suara di luar sana sudah mulai menghilang satu per satu. Tak lama lagi akan lenganglah jalan itu. meninggalkan jejak pembakaran unggun yang menyisakan bara di tepi-tepinnya, serta serakan nasi bertaburan.
            Langkah kaki mama adalah langkah terakhir yang ia dengar. Setelah itu menghilang semua suara-suara. Kosong gendang telingannya. Risau itu kembali menghampiri. Berusaha hendak memejamkan mata. Dalam gelisah panjang. Mencoba ia menghalau risau yang bersarang dan menumpuk di hati secara perlahan. Di dorong sang waktu. Dan hilanglah ia seiring terlelapnya dibuai mimpi.



Padang, 08 Januari 2008
Embun Penyejuk Hati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar