Senin, 20 Februari 2012

Cerpen

MATA
Cerpen Zahirin al-Ama

Jika engkau beradu pandang dengannya, janganlah engkau berlama-lama menatap bola matanya. Apalagi jika kalian sampai bermain mata. Karena engkau akan menjadi terlena. Dan  bila kau terlena, maka dari mata itu akan melesat sebuah anak panah secepat kilat. Ujungnya paling lancip. Lalu anak panah yang lancip itu akan menembus-menghujam jantungmu. Menembus bagian dalam yang menjadi raja di tubuhmu itu. Raja yang selalu memerintah tubuhmu itu akan menjadi lemah terkulai. Lalu engkau akan lupa waktu. Lupa diri. Lupa daratan. Dan lupa segala sesuatu.
            Mata itu adalah milik seorang lelaki berparas tampan. Berparas mempesona. Dan menawan setiap mata yang memandang. Ia adalah seorang mahasiswa dari ibukota provinsi. Yang akan menetap untuk waktu beberapa bulan. Dan seorang lelaki yang baru datang ke kampung Tarok ini, kemaren sorenya diantar mobil Jip.  Mereka bertiga beserta sopir di dalamnya saat itu. Ketika menuju kampung ini. Mobil itu berjalan pelan saat melewati jalan masuk kampung. Hati-hati sekali bapak sopir mengendarai mobil di jalan bebatu. Di jalan yang banyak lubang di sana-sini. Di hari cerah seperti ini biasanya jalanan berdebu. Debu-debu dari tanah bercampur pasir yang diterbangkan angin.
Melewati jalur di sepanjang jalan menuju kampung itu ia jumpai beberapa anak berseragam sekolah berjalan sama arah dengan mereka. Mereka, anak-anak itu, berjalan dengan kaki telanjang. Berjalan tanpa alas kaki. Sementara sepatunya dijinjing-jinjing begitu saja di tangan kiri. Sementara tangan satu lagi memegang tas. Demi melihat mobil jip melintas. Mereka bergerak menepi. Berhenti. Lalu memandang ke arah mobil jip yang sedang lewat dengan mata tak berkedip. Saat mobil jip itu mendekat, bapak sopir membunyikan klakson. Lelaki itu melihat jelas anak-anak yang di tepi jalan tadi. Sementara anak-anak itu juga menatap sama. Lelaki itu tersenyum pada mereka. Tapi tidak ada respon. Mereka kaku tanpa ekspresi. Mungkin bingung, mungkin juga tidak mengerti. Mungkin juga karena orang yang dijumpai itu adalah asing. Bukan orang kampung mereka. Bukan orang yang dikenal. Setelah memberi luang untuk lewat. Anak-anak itu memandang saja mobil yang melaju menjauh dan semakin jauh ke ujung jalan. Hingga mengecil, lalu menghilang di paling ujung batas mata memandang.
Di sepanjang jalan itu juga nampak seorang petani memikul gabah di punggungnya. Ia membungkuk-bungkuk menahan beban berat. Pada jalan yang lain ada juga beberapa petani memanggul cangkul di pundak. Serta para ibu-ibu yang membawa keranjang, Membawa rantang. Membawa sabit, golok dan lain sebagainya. Dan di sepanjang jalan yang tidak beberapa kilometer lagi itu, lelaki itu sangat leluasa memandang hamparan sawah yang luas. Atau beberapa petak lahan-lahan lain yang ditanami sayuran kol. Umbi-umbian. Tanaman kentang. Tanaman cabe. Serta Hamparan hamparan bermacam-macam tanaman-tanaman lain.
Di jalanan bebatu yang melintasi hamparan sawah dan ladang itu bapak sopir melambatkan laju jalan mobil. Hingga mereka sangat leluasa menikmati indahnya pemandangan pegunungan-perbukitan nun jauh di arah timur. Pegunungan-perbukitan itu menjadi latar dari hamparan luas sawah-sawah terbentang itu. Sementara di bagian utara terbentang meliuk-liuk sungai panjang. Mengalir tenang. Jernih. Alami. Di hamparan ladang-ladang sejauh mata memandang itu, ia serta teman-temannya bisa lihat lepas di sisi kanan-sisi kiri jalan yang ia lewati.
Lelaki itu ditempatkan di kampung Tarok ini. Ia ditugaskan oleh  dosen pembimbingnya. Untuk melakukan penelitian.
*          *          *
            Keesokan hari. Ketika sehabis melakukan penelitian di ladang-ladang para petani.  Lelaki itu tersenyum-senyum sendiri. Ia terlihat bahagia. Sekaligus bangga pada dirinya sendiri. Betapa tidak, hari ini ia telah sukses mengawali hari pertamanya di kampung ini.
Siang ini, selepas sholat zhuhur. Ia kebetulan berpapasan dengan seorang perempuan muda. Ia pulang dengan berjalan kaki. Karena jarak dari sekolah menuju rumah yang ditempatinya hanya beberapa meter saja. Hingga jarak yang dekat itu dapat ia tempuh sekitar sepuluh hingga lima belas menit. Dan perempuan itu berjalan berlawanan arah dengannya. Demi melihat perempuan itu. Lelaki yang juga guru itu tersenyum dikulum. Karena lelaki itu memang murah senyum pada siapa saja. di samping itu ia juga teramat ramah pada siapa pun. Sejak dari kecilnya. begitu pun sejak ia kuliah di ibukota provinsi. Hingga ia mulai mengajar. Dan sekarang ia di sini. Di kampung Tarok ini, ia merasa lebih dekat. Lebih nyaman dengan masyarakat kampung. Masyarakat yang sangat kental budaya senyum-sapanya.
Perempuan itu berhenti sejenak. Entah kenapa, entah apa pula sebabnya ia memandang lelaki itu demikian. Apakah ia  memandangnya dengan tatapan kagum? Atau dengan tatapan lain yang bermaksud? Bermaksud seperti ada udang di balik batu barangkali. Entahlah. Dan perempuan itu terus saja menatap tajam pada lelaki itu. Mungkin ia melihat wajahnya. Mungkin juga melihat bola matanya yang indah itu. Demi melihat perempuan yang menatap tak berkedip. Juga ia merasa tidak enak rasa. Ia coba menyapa perempuan sembari menundukkan kepala. Hanya itu saja, lalu ia lanjut berjalan meninggalkan perempuan yang mematung itu. Setelahnya, perempuan muda yang disapa itu sintak tersadar. Seperti tersadarnya dari pengaruh hipnotis. Atau seperti bangun dari tidur.
*          *          *
            Beberapa minggu berikutnya. Ia sudah mulai akrab dengan warga. Akrab sama anak-anak. Juga memiliki banyak teman. Paling banyak teman perempuan. Sesekali ia pergi berkunjung. Kadang-kadang ia yang dikunjungi. Mulai dari tetangga dekatnya. Hingga yang paling jauh di ujung perbatasan kampung.
            Pada jalan yang lengang. Tiba-tiba tangannya ditarik oleh seseorang. Ia adalah perempuan muda yang pernah dijumpainya tempo hari. Melihat perempuan itu, tentu, lelaki itu kenal. Perempuan itu, barangkali memang sengaja menunggu kedatangan lelaki itu. Sengaja mencari saat-saat yang tepat untuk berjumpa.
Kemudian perempuan itu melihat-lihat ke-sekeliling. Mengamati kalau-kalau ada orang yang melihat. Dari raut mukanya kelihatan kalau ia lagi cemas. Lalu seketika itu juga ia nampak lega. Karena saat itu memang tidak nampak orang-orang.
            Lelaki itu bingung. Namun ia tetap terlihat tenang. Seperti seolah tidak terjadi apa-apa. Dan perempuan itu menatap lekat bola mata lelaki itu tak berkedip. Lelaki itu sama. Menatap seperti perempuan itu. Tapi ia tidak tahu mengapa perempuan itu seperti ini. Saat ini hanya ada mereka berdua. Di jalan yang lengang lagi sunyi pula. Lelaki itu melepas tangannya dari genggaman perempuan itu. “Maaf, kakak,” Lelaki itu memanggil perempuan itu demikian. Karena rupa perempuan itu sepertinya lebih tua darinya.“Ada apa ya?” Tanya lelaki itu selanjutnya. Dengan suara lembut. Tetap ramah.
            Seperti sebelumnya. Perempuan itu tersintak tersadar, “oh, ma… ma...af!” perempuan itu terbata-bata. Gugup. “Jangan, panggil kakak, panggil nama saja. Nama saya Ratni Sutikanti. Biasa dipanggil Rat.”
            “Oh…, perkenalkan, nama saya Handi.”
            Mata perempuan itu masih saja menatap bola mata lelaki itu. Entah kenapa ia sangat suka memandang. “Aku suka dengan matamu.” Kata perempuan itu dengan senyum yang dibuat semanis-manisnya.
            Lelaki itu tertawa kecil. Ia senang mendengar seorang perempuan yang lumayan cantik itu berada di dekatnya. “Hanya bola mata? Bagaimana orangnya sekalian?” ujar lelaki itu bercanda. Menggoda.
            Betapa senang dan gembira hati perempuan itu mendengar ucapan lelaki itu. Ia Sepertinya ia mendapat sinyal. Berarti tidak lama lagi ia akan segera menjadi kekasihnya. Ia tidak sia-sia kan hal ini. Bagi lelaki itu, ketampanan yang dimilikinya, untuk mencari kekasih tidaklah susah baginya. Untuk mencari pujaan hati. Jadilah mereka pada hari itu sepasang kekasih. Dan perempuan itu, mungkin karena senangnya. Berbunga-bunga hatinya dengan rasa yang tidak dapat diungkapkan. Ia berlari-lari pulang. Rasanya hari ini adalah hari yang paling bahagia dalam hidupnya.
            Belum seminggu mereka menjalani pacaran. Lelaki itu kenal pula dengan seorang perempuan lain. Seorang perempuan ini rupanya lebih cantik dari perempuan pertama yang ia kenal. Seperti dengan perempuan pertama itu. Perempuan itu pun awalnya menatap kagum lelaki itu. Ia seperti terkena hipnotis. Lalu mereka berkenalan. Lelaki itu harus mengakui kecantikannya. Ia kagum bukan karena hanya kecantikan perempuan ini. Tapi auranya yang memancar dari wajahnya membuat siapapun termasuk dirinya tidak akan bosan memandang. Ia memiliki tubuh semampai. Ia juga memiliki mata yang indah seperti matanya. Ia memiliki segala sesuatu yang lebih dari perempuan pertama. Di sini, mereka bertemu di jalan yang lain. Perempuan ini mengatakan bahwa ia kagum pada lelaki itu. Ia menawarkan lelaki itu pergi ke suatu tempat yang indah besok senja, ke atas jembatan gantung arah selatan kampung perempuan itu mengajaknya. Ia ingin lelaki itu tahu betapa indahnya pemandangan di sana. Tentu, lelaki itu menyetujui. Bahkan ia sangat senang. Karena ia memang sangat menginginkan pertemuan ini. Kalau begitu kita bertemunya di sini. Ujar perempuan itu tersenyum. Setelah pertemuan itu, lelaki itu masih berdiri saja di sana. Sementara perempuan itu berlalu pergi. Sama dengan perempuan pertama. Ia senang gembira dengan rasa yang tidak dapat diungkapkan.
Seperti sudah dijanjikan. Perempuan itu telah hadir di jalan ini. Di jalan kemaren mereka bertemu dan berkenalan. Juga di jalan yang dijanjikan. Mereka mulai berjalan. Awalnya biasa-biasa saja. Namun perempuan itu mulai meraih tangan lelaki itu. Jadilah mereka berbimbingan. Mereka melewati jalan kecil. Kadang-kadang bebatu. Kadang-kadang tanah becek yang licin. Hati-hati sekali mereka lewat di jalan menurun. Mereka berjalan melambat di pendakian. Lumayan jauh, beberapa kilometer dari kampung. Namun tidak terasa oleh sepasang kekasih yang sedang dilanda asmara ini. Hingga sampai di dekat jembatan gantung itu sepertinya mereka hanya menempuh jalan yang berjarak beberapa meter saja. kini, mereka sudah di atas jembatan gantung. Lelaki itu melihat-lihat berkeliling. Di hadapannya terbentang sungai memanjang meliuk-liuk. Nun jauh di sana terhampar pegunungan-perbukitan. Pada tempat yang lain nampak olehnya beberapa rumah-rumah penduduk yang berada di seberang jembatan gantung ini. Beberapa kerbau-kerbau mandi berkubang di tepi hutan-hutan. Lelaki itu menikmati pemandangan. Sementara perempuan itu, terus menatap mata indah lelaki itu. Dan lelaki itu tiada tahu.
*          *          *
             
            Beberapa bulan selanjutnya kampung Tarok menjadi heboh. Tidak hanya para gadis-gadis saja yang jatuh hati pada lelaki itu. Tapi juga para perempuan yang sudah bersuami. Dan lelaki itu, banyak memiliki kekasih, sepertinya setiap segala yang datang untuk meminta hatinya untuk mereka, ia menerima begitu saja. Nyaris seluruh perempuan di kampung ini menjadi kekasihnya. Setiap kali ia bertemu perempuan. Setiap kali itu pula ia berkenalan. Setiap kali itu pula para perempuan itu menyatakan kekagumannya pada lelaki itu. Dan ia pun demikian.
            Mendengar berita ini. Para lelaki di kampung Tarok ini meradang. Mereka sangat marah setelah mengetahui para istri-istri mereka telah berselingkuh. Mereka membenci mata lelaki itu. Para pemuda-pemuda yang kekasihnya juga berpindah juga demikian. Mereka cemburu.  
Dini hari, lelaki itu terbangun ketika pintu depan rumahnya digedor sangat keras beberapa kali. Duduk sejenak di atas kasur. Lalu berpikir sejenak. Lalu terdengar olehnya suara gaduh di luar sana. Sesekali terdengar bunyi teriakan yang memintanya paksa keluar. Sesekali terdengar bunyi ancaman. Mereka mengancam akan membakar rumahnya apabila ia tidak mau keluar. Lelaki itu berjalan menuju pintu. Di pintu, suara-suara orang-orang semakin memekakkan telinga. Dilihatnya melalui celah pintu yang berlobang. Setelah nampak apa yang ada di luar ia menjadi takut. Kakinya gemetar. Ia terkencing-kencing di celana.
Gubrak…! Pintu di dobrak.Pintu itu rebah lalu menimpa lelaki itu. Orang-orang mendapatinya. Kemudian lelaki itu menyeretnya keluar. Lelaki itu berontak. Ia ingin lepas. Lalu lari. Namun jumlah mereka teramat banyak. Jangankan lepas, menggerakkan tangan saja ia tidak berdaya. Sementara, di luar orang-orang ramai menyambut. Mereka mengelilingi. Menyaksikan sesuatu pertunjukan. Lalu salah seorang di antaranya mengeluarkan pisau. Dengan pisau itu ia dekatkan ke bola mata lelaki itu. Dua orang di depan membuka kelopak matanya. Dan tanpa ampun. Seseorang  yang mengeluarkan pisau itu langsung menancapkan pisau ke bola mata. Darah menyembur. Begitu pun dengan mata yang satu lagi. Lelaki itu meraung-raung sekeras-kerasnya. Meminta tolong. Namun tidak ada satu pun yang datang menolong. Sementara orang-orang banyak itu berlalu begitu saja tanpa menghiraukan raungan pesakitan lelaki itu.

Embun Penyejuk Hati
Padang, 24 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar