Senin, 20 Februari 2012

Cerpen

MELUKIS BADAI
Cerpen Zahirin al-Ama

            Aku ingin melukis badai. Ujar Hani suatu ketika. Gadis kecil berambut lurus panjang tergerai itu menatap hampa ke langit biru. Di teras rumah ia bersama bunda yang tengah menyulam tenun. Di atas kursi rotan yang sudah usang dan lapuk itu ia memegang sebuah pensil, berhadapan dengan sebuah kanvas kain yang tegak miring di atas meja. Di samping kanvas, beberapa cat air pewarna beserta crayon ia biarkan berserakan. Demikian juga kuas dan plastik tempat menuang cat, tumpah belepotan di atas meja. Bahkan ada juga yang tumpah di lantai.
            Badai itu angin sayang. Sedangkan Angin itu tidak dapat dilihat, bagaimana cara kau melukisnya? Bunda meninggalkan kain tenunannya di lantai teras. Ia menghampiri putri semata wayangnya. Lalu mendekap erat tubuhnya. Hani tiada bergeming. Tiada pula terasa hangat ia rasakan pelukan bunda. Diam. Kaku. Tanpa ekspresi. Dan sebersit pilu menyelinap di ulu hati bunda. Di ulu hati ada luka yang teramat dalam ia rasakan. Kenapa pada akhirnya ia harus mengalami nasib malang ini. Nasib yang sama sekali tiada pernah ia inginkan. Tiada pernah pula dibayangkan. Yang juga tiada pernah terlintas dipikirannya. Dan Hani yang sekarang bukanlah Hani yang dulu ia kenal. Dulu Hani adalah seorang gadis kecil yang riang.  Hari-harinya ceria selalu, Hani juga  anak yang suka bercanda, bercanda sama bunda, abang dan ayahnya. Terkadang sesekali tertawa lepas bila sesuatu dianggapnya lucu. Bahkan tak jarang ia suka usil pada mereka. Kadang-kadang ia sendiri yang diusilin. Hari-harinya adalah hari yang bahagia. Tidak ada istilah dalam kamusnya kata-kata sedih, duka, malang atau entah apa namanya.
            Tapi Hani yang sekarang bukanlah Hani yang dulu ia kenal. Setiap kali melihatnya, Bunda menangis pilu dihati yang tertahan. Menangis melihat kondisi putrinya yang kian hari kian mengkhawatirkan. Menangis menyaksikan putrinya yang berubah seratus delapan puluh derajat. Tak terasa air matanya berlinang lalu merembes ke pipi. Karena ia merasa sungguh, dulu ia adalah anak yang periang, pecanda dan menyenangkan. Namun bagaimanapun, ia harus menerima kenyataan pahit yang harus dialaminya sekarang. Bersama Hani sekarang yang hilang riang, senang, suka dan candanya. Semua itu telah pergi. Telah berlalu seperti lewatnya waktu yang tidak dapat diputar ulang.
Semua itu bermula sejak sebulan lalu. Ketika badai hebat menghantam kampung ini. Badai itu menghembuskan angin sangat kencang yang belum pernah dirasakan orang-orang sini. Yang juga belum pernah sekalipun terjadi di kampung ini. Badai itu melanda selama beberapa jam saja. Namun cukup untuk memporak-porandakan kampung ini. Angin itu telah menghempaskan atap-atap rumah. lalu menerbangkannya di udara. Tiang-tiang listrik rebah menimpa orang-orang. Menimpa rumah-rumah. Menimpa jalan-jalan. Pohon-pohon yang patah. Bahkan roboh. Orang-orang banyak meninggal. Puluhan orang bahkan ratusan orang. Mereka meninggal akibat tertimpa seng, tersengat arus listrik dari tiang-tiangnya yang roboh, lalu kabel-kabelnya yang bertegangan tinggi itu menjadi terputus-putus. Ada juga tertimpa bangunan, bahkan ada juga yang terbawa arus angin ke suatu tempat yang jauh. Ada yang masuk ke sungai hingga lanjutnya hanyut. Ada yang terlempar ke hutan. Terlempar lalu tertancap di atas besi-besi tajam dari material-material bangunan baru. Hani dan bunda berlindung di balik tembok rumahnya. Beberapa atap seng rumahnya terbuka oleh hempasan kencang angin badai. Beterbangan jauh menuju arah yang entah. Ketika itu, ayah bersama Hendri abangnya sedang tidak di rumah. Mereka sedang berada di luar. Berada di tempat yang berbeda,  menjelang berangkat bermain siangnya, Hendri pamit keluar pergi bermain sepeda dengan temannya. Sementara ayah pergi ke kedai kumpul-kumpul bersama-sama orang-orang di sana. Dan di rumah. Hani menjerit keras-keras sembari menutup telinga. Sementara bunda berdo’a saja dalam hati sambil mendekap erat Hani. Ia pasrah. Ia berharap mudah-mudahan ayah beserta Hendri selamat.
Namun Tuhan berkehendak lain. Ayah dan Hendri ditemukan tewas di tempat terpisah. Ayah ditemukan tiada bernyawa dengan kepala pecah tertimpa tiang listrik bersama orang-orang lain. Darah bermuncratan di sana-sini. Sementara Hendri tewas tertusuk patahan kayu-kayu yang rebah dan jatuh. Dengan luka perut robek. Nyaris keluar usus. Bunda menangis. Hani menjerit-jerit. Meraung-raung keras sekali. Kampung ini berduka. Setelah berhentinya badai dahsyat ini, berbondong-bondonglah para wartawan media cetak, elektronik dan radio setempat. Mereka mencatat, mewawancarai saksi lalu melaporkan melalui siaran televisi. Menulisnya di koran-koran. Atau laporan ekslusif langsung di radio. Maka ketika itu mulailah berdatangan bantuan-bantuan. Juga tidak ketinggalan para pemilik pemilik kepentingan. Mereka datang berkunjung. Mulai dari calon bupati hingga calon gubernur.
*          *          *
Hani sangat suka melukis. Karena dari kecil hobinya memang melukis. Bahkan ia jago dalam melukis. Setiap kali menemani bunda pergi ke pasar. Ia selalu meminta bunda membelikannya peralatan lukis. Pensil warna, crayon, cat air, kuas dan buku gambar. Walau semua itu telah banyak tersedia di rumah. namun ia selalu mengotot minta dibelikan yang baru.
Hani pintar melukis bunga. Ia melukis bermacam-macam bunga apa saja yang tumbuh mekar di halaman depan rumah. Bunga-bunga yang banyak dalam taman itu ia lukis seperti aslinya. Bunga Rose, Melati, Anggrek, Asoka dan banyak lagi lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Ia juga piawai melukis pohon kelapa, pohon kelapa yang melambai-lambai di tepian pantai berombak. Jika orang-orang memperhatikannya sekilas, maka mereka serasa berada di tepian pantai dengan udara sepoi-sepoi yang berhembus sejuk. Mereka juga merasa dekat dengan bunyi deburan ombak. Begitu pun dengan pemandangan alam pegunungan, ia buat di sana sungai berair jernih dan tenang yang meliuk-liuk panjang. Ia hiasi sebelah kanan sungai itu dengan rimba belantara yang belum terjamah tangan jahil manusia. Sedang di sebelah kirinya ia lukis sawah-sawah lengkap dengan orang-orangnya di sana. Para petani. Anak-anak sekolah yang lewat di pematang-pematangnya. Dan beberapa gunung yang menjulang tinggi ia jadikan latar di kejauhan utara sana. Indah. Menakjubkan. Hani juga bisa melukis wajah-wajah orang. Lukisan wajah itu bisa ia buat mirip seperti aslinya. Ia telah melukis wajah bunda, ayah dan abangnya. Ia juga telah melukis wajah bu Ainun, guru TK-nya tanpa sepengetahuannya. Ia bisa melukis wajah-wajah orang lain yang belum ia kenal sekalipun.
Karena bakat yang dimilikinya itu, menjadikan ia disayang banyak orang-orang. Mulai dari keluarganya tentu, bunda, ayah dan Hendri abangnya. Dari om dan tantenya yang sesekali datang berkunjung. Mereka takjub melihat sepanjang dinding rumah, mulai dari dinding luar depan rumah hingga dinding dalam, banyak karya-karyanya yang terpajang. Semuanya indah-indah. Bagus-bagus. Lebih bagus dari lukisan seorang anak SMA. Lebih takjub lagi mereka setelah mengetahui bahwa Hani lah yang melukis itu semua. Juga, ia sendiri yang memajangnya di dinding. Mula-mulanya mereka tidak percaya pada gadis sekecil Hani bisa melukis demikian hebat. Belum lagi puji-pujian yang datang dari tetangga dekat hingga tetangga jauhnya ketika mereka juga datang langsung menyaksikan lukisannya. Mereka takjub. Mereka mengakui kehebatan si gadis kecil berambut panjang tergerai ini.
Semasa sekolah di TK dulu ia sering mendapat juara. Ia sering mengikuti perlombaan-perlombaan. Perlombaan yang diikutinya mulai dari tingkat kecamatan hingga tingkat provinsi. Bahkan nyaris setiap kali ia mengikuti perlombaan itu, ia selalu memboyong trofi pulang, ditambah lagi tabanas, Juga paket hadiah langsung yang dibungkus dalam kado. Karena kepiawaiannya ini, ia telah berkali-kali mengharumkan nama TK tempat ia belajar. Begitu pun juga ketika ia di sekolah dasar sekarang ini. Setiap kali diadakan lomba melukis antar sekolah, antar kecamatan, atau antar kabupaten/ kota maka ia tidak pernah ketinggalan. Bahkan ia selalu menjadi utusan. Setiap kali mengikuti lomba itu. Setiap kali itu pula ia memperoleh juara. Sudah berpuluh-puluh piala yang dikoleksinya di rumah. Atau yang di koleksi oleh pihak sekolah, di dalam lemari kaca kantor kepala.
*          *          *
            Aku ingin melukis badai! Ujar Hani lain hari. Di atas kursi rotan, di teras rumah depan. Ia menatap awan yang berarak menutup langit biru. Awan-awan tebal menggumpal. Lalu mendung. Bunda yang menenun kain serta menatap apa yang ditatap putrinya. Sesekali ia menoleh pada mata putrinya yang nanar. Sesekali menoleh pada kain kanvas. Di atas kanvas yang telah dicoret-coret tak beraturan. Kadang-kadang kembali menatap langit biru yang berubah mendung itu.
            Sekali lagi, bunda datang menghampiri. Bunda mengelus-elus rambut panjangnya yang tergerai. Kenapa harus badai sayang? Kamu kan bisa melukis yang lain. Kamu bisa melukis bunga-bunga. Melukis pohon kelapa. Melukis wajah bunda. Atau melukis pemandangan laut. pemandangan pegunungan, pemandangan perbukitan.   Dan apa saja, selain badai! Kata bunda dengan lembut sambil membelai-belai rambut gadis kecilnya. Seperti yang sudah-sudah orang yang diajak bicara hanya diam tanpa respon. Kaku. Tidak bergeming dari tempat duduknya. Dan sekali lagi, tanpa sadar. Air mata bunda berlinang lalu merembes jatuh ke pipi.
            Hani terus saja melukis. Lukisan itu sudah ia buat berhari-hari. Beberapa torehan pensil serta cat pewarna sudah bertambah di sana-sini. Namun belum juga menunjukkan sebuah gambar yang sempurna. Padahal, seperti biasa, untuk melukis gambar-gambar lain ia hanya butuh waktu satu jam saja, atau paling lama satu hari. Namun tidak dengan lukisan yang satu ini. Mungkin lukisan badai adalah sebuah lukisan yang berat untuk ia deskripsikan. Sehingga ia butuh waktu sangat lama memikirkannya.
*          *          *
            Beberapa minggu kemudian lukisan itu rampung. Ia gambarkan suasana langitnya mendung agak kegelapan. Di sana ada angin badai sangat kencang melanda kampung. Menerbangkan atap-atap. Menerbangkan daun-daun serta ranting-ranting pohon. Merobohkan pohon-pohon. Merobohkan tiang listrik. Orang-orang berlindung dengan berpegangan di tiang-tiang yang kuat. Tiang apa saja. ada yang berlindung di balik tembok-tembok yang tangguh. Di dalam sana ia juga gambarkan banyak mayat bergelimpangan di sana-sini. Suasananya mengerikan. Dan cukup bergidik jika ditatap lekat-lekat.
            Pada saat ini senja. Di atas meja, kanvas lukisan itu di biarkan saja begitu. Sedangkan pensil, cat pewarnanya dan kuasnya di tinggalkan berserakan. Sementara itu juga di atas langit sana mendung awan kian tebal menyelimuti. Kilat dan petir menyambar-nyambar sesekali. Kadang-kadang guntur berbunyi amat keras memekakkan telinga. Dari tanda-tanda itu sepertinya hujan angin akan segera turun. Dan bunda tahu. Ia segera keluar bergegas menemui putri semata wayangnya menjelang hujan datang mengguyur. Namun betapa terperangahnya bunda. Hani, seorang gadis kecil rambut panjang tergerai itu tiada di tempat. Bunda memandang berkeliling. Melihat-lihat sekali lagi. Ia berharap kalau ia berpindah posisi duduk. Ia cemas. Sangat cemas. Dan bertambah cemas lagi karena ia tidak kunjung jua mendapati Hani.
            Hani…, Hani…., Hani….! Bunda berteriak-teriak keras bersamaan dengan datangnya hujan lebat mengguyur. Bunda menerobos hujan. Ia basah kuyup. Ia menjadi sangat pucat. Ia berlari-lari dalam bingung. Menerobos samar-samarnya senja yang tidak lama lagi gelap menyelimuti. Dan ia terus berlari-lari ke arah jalan yang entah. Ia terus berlari-lari mengejar gadis kecilnya. Putri semata wayangnya.
Embun Penyejuk Hati
Padang, 26 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar