Senin, 20 Februari 2012

Gadis Penjual Kue

GADIS PENJUAL KUE
Cerpen Zahirin al-Ama

            Senja datang. Jingga berpendar di langit. Mentari perlahan-lahan turun menuju peraduannya. Di jalan raya, dari kejauhan berjalan seorang perempuan muda. Berwajah remaja. Berpakaian serba hitam. Ia melintas sambil meneriakkan jualannya yang dalam talam. Dijunjung di atas kepala; Kue, kue, kue, goreng pisang, bakwan, tahu, lamang golek, lapek bugih, godok. Kue, kue, kue!
Itulah uniknya, perempuan ini dari atas hingga bawah berpakaian serba hitam. Mulai dari jilbab, baju, rok bahkan sandal sekali pun, warnanya hitam. Entah kenapa ia berpakaian seperti itu? Setiap kali aku menjumpainya. Setiap kali itu pula aku melihatnya berpakaian serba hitam. Tiada sekali pun aku melihat ia mengenakan seragam warna lain.
            Apakah ia tidak mempunyai pakaian lain selain pakaian yang serba hitam itu? Atau, walau ada tetapi yang dipakai hanya yang berwarna hitam? Mungkin juga di rumahnya, semua pakaiannya semua berwarna hitam. Setiap kali ia membeli pakaian baru, setiap kali itu pula ia hanya memilih yang berwarna hitam? Entahlah.
            Pertanyaan demi pertanyaan menggelegak di benakku. Dan aku tetap tidak tahu apa jawaban yang sebenarnya.
Sebuah angkot warna hijau daun pisang melaju dengan kecepatan tinggi. Jalan yang dilalui  berdebu. Aku terbatuk-batuk sembari mengibas-ngibas tanganku di mulut, menghalau abu yang berterbangan.
Aku tinggal di pinggiran kota. Rumahku berada di tepi jalan jurusan Balai Baru-Pasaraya. Setiap hari jalanan depan rumah bising oleh lalu-lalang kendaraan. Angkot yang lewat dengan musik tripingnya. Kendaraan motor yang mengebut ugal-ugalan. Balap. Berpacu sesamanya. Sepeda motor yang paling banyak ugal-ugalan. Apalagi jumlahnya semakin hari semakin menyempit jalanan. Didukung promosinya yang semakin gencar; harga murah, DP ringan, membeli dapat uang cash back, dapat tape mini compo, dapat HP dan banyak lagi yang tidak bisa kusebutkan satu-satu.
            Kalau aku hitung-hitung. Sepanjang rumah yang sudah aku kunjungi langsung, atau aku lihat-lihat sambil lalu. Umumnya orang-orang sudah memiliki sepeda motor. Hanya sedikit rumah saja yang tidak memiliki kendaraan roda dua ini. Bahkan ada satu rumah yang memiliki sepeda motor lebih dari satu; dua, tiga bahkan hingga empat.
            Sepeda motor itu kebutuhan primer sekarang Za, bukan sekunder lagi. Begitu kata temanku suatu ketika.
            Ingatanku kembali kemasa lalu. Masa ketika aku mulai menginjak usia remaja. Anak ABG. Di kampung. Sebelum aku berangkat ke kota, kuliah. Ketika itu jangankan handphone, listrik saja belum masuk kampung, untuk penerangan malam hari orang-orang menggunakan lampu minyak tanah. Lampu yang mengepulkan asap hitam. Paling tinggi orang-orang menggunakan lampu strong king. Jika hendak menonton televisi, adanya cuma satu-satu. Orang-orang menggunakan aki untuk energinya. Televisi ketika itu hitam-putih. Sedang sepeda motor sama, hanya satu-satu. Itu pun dimiliki oleh segelintir orang. Dimiliki orang yang mampu saja. Toke getah, tuan tanah, rentenir dan pegawai.
            Jika malam rembulan purnama. Apalagi kerlap-kerlip bintang menghiasi langit. Aku dengan teman-temanku pergi bertandang ke rumah pacar-pacar kami di seberang kampung. Ke kampung seberang yang berjarak lebih dari tiga kilometer itu kami tempuh dengan berjalan kaki. Jarak sejauh itu terasa sangat dekat. Lantaran niat bertemu pujaan hati.
            Berpakaian rapi, memakai pengharum wangi. Kami melangkah. Beberapa batang rokok dihisap. Apabila sudah sampai di kampung seberang, di simpang tiga arah Tanjung Sungai Pertemuan. kami berpencar menuju rumah pacar masing-masing. Pulangnya dijanjikan di tempat berpencar. Simpang tiga arah Tanjung Pertemuan.
*          *          *
            Senja ini aku menunggu kedatangannya. Seperti biasa, aku hendak membeli beberapa buah kuenya; Goreng pisang, godok, bakwan, tahu, atau apa saja.
            Jalanan berkabut oleh debu-debu yang diterbangkan oleh kendaraan-kendaraan yang lalu-lalang.
            Dari kejauhan gadis penjual kue perlahan mendekat. Menjinjing talam di atas kepalanya. Suaranya terdengar lamat-lamat dari kejauhan; Kue, kue, kue, goreng pisang, bakwan, tahu, lamang golek, lapek bugih, godok. Kue, kue, kue!
            Seperti hari-hari lain. Pada hari ini ia pun memakai seragam berwarna hitam; jilbab, baju, rok dan sandal semuanya serba hitam. Aku tidak heran, karena hampir setiap hari aku menjumpainya demikian. Namun walau demikian, pertanyaan-pertanyaanku tentang mengapa ia memakai pakaian serba hitam itu hingga kini belum terjawab. Hingga kini masih menghantuiku.
            Aku tidak perlu susah-susah memanggilnya. Sebagai langganan, ia akan datang dan singgah sendiri di teras depan rumahku. Begitu pun senja ini. Ia datang dengan seulas senyum padaku hingga ia meletakkan talam tempat kuenya di letakkan di teras.
            “Pisang goreng dua, bakwan empat, tahu tiga ya.” Pintaku.
            Dengan telaten ia mengambil yang aku minta. Dengan sendok penjepit ia memindahkannya ke dalam kantong plastik. “Semuanya 9000 kak.”
            Aku menyerahkan uang pas. “Terimakasih.”
            Ia beranjak menjauh ke ujung jalan. Suaranya lamat-lamat semakin jauh; Kue, kue, kue, goreng pisang, bakwan, tahu, lamang golek, lapek bugih, godok. Kue, kue, kue!
            Aku ke dalam. Mengambil bantal, koran harian, segelas besar air mineral. Kemudian duduk menyandar beralas bantal di depan teras rumah. Membaca koran sambil makan kue-kue hingga tertidur.
*          *          *
            Senja ini adalah yang kesekian kalinya. Rasa penasaran ini harus terjawab. Aku harus berani menanyakan sama gadis itu.
            Cuaca hari ini sangat cerah. Sudah hampir sebulan hujan tidak turun. Abu-abu jalanan seperti kabut saja. Sedang kendaraan-kendaraan lewat tidak putus-putusnya.
            “Boleh kakak bertanya dik?” Ujarku spontan.
            Ia menatap bola mataku. Sejenak ia diam, lalu angguk-anggukkan kepala. “Mau tanya apa kak? Boleh kok.”
Ketika gadis itu memasukkan pesanan kue untuk ke dalam kantong plastik. Perlahan dan sangat hati-hati aku bertanya, “Kakak ingin tahu mengenai pakaianmu. Kenapa selalu memakai yang berwarna hitam begini?”
Mendengar pertanyaanku begitu rupa. Ia berhenti sejenak memindahkan kue dari talam ke kantong plastik untukku. “Ceritanya panjang kak.”
“Oh…!”
“Keluargaku, satu persatu dipanggil menghadap yang Maha Kuasa. Mulai dari ayah, selanjutnya menyusul ibu, abang dan dua orang adikku.” Ia berhenti sesaat. Sementara dari bola matanya, air telah berlinang. Merembes di pipi.
Mendengar ceritanya, aku turut prihatin. Aku masih diam menunggu kata-kata selanjutnya.
“Aku hidup sebatang kara. Aku hidup, dengan menjual kue-kue ini. Kujinjing setiap datang senja. Dan kembali pada malamnya.” Air mata yang merembes dihapus dengan punggung tangannya. “Untuk itu aku selalu memakai pakaian berwarna hitam. Pakaian berkabung. Aku berkabung untuk ayah, ibu, kakak dan dua orang adik-adikku.”
“Selamanya.”
“Ya, selamanya aku akan berpakaian seperti ini. Sampai aku meninggal.”
“Apa kau punya pakaian warna lain selain warna hitam ini?”
“Tidak ada. Semuanya sudah aku bakar.”
Aku diam tercekat. Tak mampu berbicara apa-apa lagi. Hingga akhirnya ia berangkat menjunjung kuenya. Aku melihat gadis penjual kue itu berjalan ke ujung jalan dengan prihatin. Namun aku tidak bisa membantu banyak.
Gadis penjual kue itu lamat-lamat berteriak; kue,kue, kue, goreng pisang, lapek bugih, bakwan, tahu, kue, kue, kue. Kali ini aku melihat gadis itu hingga ia menghilang di kejauhan.
*          *          *
            Sudah beberapa hari ini gadis penjual kue itu tidak datang-datang lagi. Beberapa hari itu pula aku tidak membelikan kue. Aku yang terbiasa membaca buku, koran dan majalah ditemani kue sedikit gelisah. Menanti gadis penjual kue yang tak kunjung datang-datang, aku terpaksa mencari keluar untuk membeli kue-kue yang aku inginkan.
            Tidak datangnya gadis penjual kue ini membuat aku bertanya-tanya. Kenapa ia tidak lagi datang ke sini? Apakah ia marah dengan pertanyaan-pertanyaanku tempo hari? Atau ia sudah tidak menjual kue lagi? Beralih profesi barangkali.
            Hari berlalu cepat. Kabar burung yang aku dapat dari orang-orang. Gadis penjual kue itu telah meninggal dunia. Menghadap Yang Maha Kuasa. Menyusull ayah, ibu, kakak dan dua orang adiknya. Antara percaya dan tidak, aku tidak bisa menyembunyikan rasa keterkejutanku.
            Beberapa saat aku membayangkan gadis malang itu. Gadis penjual dengan suaranya yang lamat-lamat menjajakan kuenya; Kue, kue, kue, goreng pisang, bakwan, tahu, lamang golek, lapek bugih, godok. Kue, kue, kue!

Embun Penyejuk Hati
04 Januari  2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar