Senin, 20 Februari 2012

Ojek Simpang Tiga

OJEK SIMPANG TIGA
Cerpen Zahirin al-Ama

            Simpang tiga itu berkabut oleh abu yang berterbangan. Dari kendaraan-kendaraan yang lalu-lalang melintas di jalan raya. Bus, travel, Colt, Truk, angkot, oplet, dan sepeda motor. Sudah delapan belas hari tidak turun hujan. Jalanan kering. Tanah retak-retak. Beberapa rumput di tepi-tepinya mulai layu.
            Di tepi simpang tiga. Beberapa orang duduk-duduk di posko. Mengobrol-ngobrol sesamanya sambil minum kopi, menghisap rokok dan tertawa-tawa sesekali. Di luar, seorang lelaki tua berjaket hitam pudar duduk menunggu di atas sadel motornya. Ia berada di antara berjejer motor lainnya yang parkir. Sambil duduk memegang setir ia melihat-lihat bus yang lewat di jalan raya. Menunggu bus yang singgah. Berhenti menurunkan penumpang.
            Cuaca cerah. Abu jalanan berkabut dihempas angin dari bilasan roda-roda kendaraan yang lewat. Dari kejauhan sana, sebuah bus berukuran jumbo bergerak melambat arah simpang. Orang-orang di posko  keluar mengambil sepeda motor masing-masing. Dan mendekat ke bus.
            “Ojek, ojek!” Tawar pak tua pada seorang penumpang pertama di pintu belakang yang hendak turun. Sinar matahari menyengat. Bising deru mesin bercampur asap. Orang lelaki pertama menggeleng. Membuang muka. Acuh. Dan berlalu tidak menghiraukan walau berkali-kali ditawari oleh tukang ojek yang lain.
            Pak tua menunggu. Ia siap di atas sepeda motornya yang hidup. Siap tancap. “Ojek dik, ojek!” tawarnya pada penumpang kedua, seorang perempuan muda. Menenteng tas dan kardus. Kardus yang diikat tali plastik itu diangkat agak terhuyung. Seperti lelaki tadi, perempuan muda itu pun menggeleng tidak menjawab. Perempuan muda itu meletakkan tas dan kardusnya begitu ia sudah turun. Perempuan itu lalu merogoh saku tempat dimana handphone-nya ia simpan. Menelepon. Seperti biasa, mungkin minta dijemput.
            Lima orang penumpang yang turun di sini dari bus tadi. Tidak ada satu pun yang menggunakan jasa ojek. Mereka, satu persatu dijemput. oleh orang tua, kakak, paman atau saudara dengan sepeda motor mereka. Hari merangkak siang. Cuaca cerah tak berawan. Terik cahaya matahari menyengat. Kendaraan-kendaraan menerbangkan abu-abu jalanan. Hingga siang begini pak tua belum ada mendapat satu pun penumpang. Ia membuka helm. Angin hempasan kendaraan di jalanan mengacak-acak rambutnya. Ia ambil sebatang rokok. Lalu menyulutnya dengan korek api. Rokok dihisapnya dalam-dalam lalu dihembuskan begitu saja. Asap mengabur bersama abu yang dihempas angin. Ia berjalan menghampiri posko. Bergabung duduk dengan beberapa orang teman-teman seprofesinya.
*          *          *

            Hujan lebat yang mengguyur sejak sore belum reda. Waktu hampir jam 10.00  malam. Kendaraan yang lalu-lalang melintas satu-satu. Dari arah Padang, sebuah sepeda motor melambatkan lajunya. Di atasnya dua orang lelaki muda berboncengan. Bermantel jubah warna biru. Mereka berhenti di samping posko simpang tiga. Seorang penumpang di belakangnya buru-buru turun lalu segera berteduh di bawah atap posko. Sementara seorang lagi mengatur sepeda motornya untuk parkir. Menanggalkan mantel dan helm-nya. Selanjutnya buru-buru ke posko seperti temannya.
            Hujan lebat disertai hembusan angin kencang. Hawa dingin menusuk tulang sunsum. Dua orang lelaki itu, walau mengenakan jaket tebal, tetap saja menggigil. Apalagi lagi celana bagian bawah yang basah kuyup. Basah oleh hujan yang tidak tertutupi mantel sewaktu berkendara.
            Walau posko tiada berlampu. Cahaya kerlip lampu-lampu dari beberapa rumah di sekeliling cukup membuat remang. Di dalam, seorang lelaki bertopi menyambut kedua orang lelaki itu dengan senyum berbasa-basi. Sementara ia sedang memain-mainkan handphone. Mungkin ber-SMS-SMS dengan kekasihnya. Mungkin juga sedang main game. Atau entah apa, namun yang jelas orang itu asyik sendiri dengan handphone-nya.
            “Mau kemana, da?!” Lelaki bertopi itu bertanya tanpa menoleh pada kedua orang lelaki yang ditanya.      Ia masih fokus dengan handphonenya. Sementara angin lamat-lamat meniup air hujan mengarah ke posko. Butiran-butirannya menyebar kecil-kecil mengenai mereka bertiga.
            “Mau ke Simalanggang da.” Jawab seorang lelaki berambut pendek tegang keriting.
            “Dari mana?” Tanya lelaki bertopi itu lagi. Datar. Lalu posisi duduknya diubah mencangkung. Di atas bangku yang terbuat dari semen. Seperti tadi, ia bertanya tanpa menoleh.
“Dari Padang, hendak pergi baralek ke tempat kawan.” Lelaki berambut pendek tegang keriting itu menatap  ke jalanan yang lengang. Malam-malam begini orang enggan keluar rumah. Air curahan hujan melimpah. Got-got di sisi kiri-kanan jalan tidak mampu menampung hingga air mulai menggenang. Menggenang jalan, rumah, dan ruko.
“Betul ini, simpang empat Paliayangan da?!” Seorang teman dari lelaki berambut tegang keriting ikut buka suara.
Sejenak hening. Sedang hujan perlahan mulai reda. Lama-kelamaan tinggal seperti rinai saja.
Lelaki bertopi itu, jangankan menjawab, menoleh pun tidak. Dua orang lelaki itu mulai merasa tidak nyaman. Namun mereka tenang. Mencoba menganggap itu hal biasa. Tidak menunjukkan kekagetan. Seorang lelaki berambut tegang pendek keriting mengeluarkan handphone. Menghubungi seseorang. Hujan akhirnya berhenti. Yang tersisa adalah dingin. Dingin yang sangat menusuk-nusuk jangat.
*          *          *
            Sebuah sepeda motor berwarna biru dengan lampu sorot menyala dari dalam simpang. Bermantel jubah warna coklat. Mendekat posko. Orang itu membuka kaca helmnya. Melihat dekat-dekat orang di posko.
            “Aqil!” Seru lelaki berambut tegak keriting itu. Ia langsung mengenali siapa adanya orang di atas sepeda motor itu.
            “Fachri!” Jawab lelaki yang dipanggil Aqil di atas sepeda motor. Ia menghentikan motornya begitu saja di tepi posko.
            ‘Bagaimana kabarnya, kawan?” Tanya Fachri seraya memeluk Aqil.
            “Alhamdulillah, sehat.” Aqil memberi isyarat telunjuk memanggil seorang temannya yang masih dalam posko. “Deli, kenalkan ini teman saya, Aqil.”
            Lelaki berperawakan tinggi yang dipanggil walau agak menggigil mencoba keluar dari posko. Bersalaman. Saling menyebut nama. Kemudian selanjutnya obrolan singkat seputar mereka berdua.
            “Kerja dimana sekarang Qil?” Tanya Fachri selanjutnya. Sambil memegang lengannya.
            “Biasa, tukang ojek.” Jawab Aqil datar. “Kamu sendiri, kerja dimana?”
            “Guru.”
            “Wah, hebat.” Aqil menepuk-nepuk punggung Fachri.
            “Tidak juga, biasalah swasta, belum PNS. Kalau kamu mungkin lebih beruntung, ya kan?!”
            “Ah…, nyindir kamu.” Lelaki bernama Aqil itu menghela nafas panjang. Lalu ia lepaskan begitu saja. “ Sekarang ini motor banyak, bahkan kian hari kian bertambah banyak saja. Sedikit sekali orang-orang yang menggunakan jasa ojek. Biasanya dalam satu hari dapat dua atau tiga penumpang, itu juga sudah lumayan.”
            “Sebabnya?!”
            Sekali lagi, Aqil menghela nafas panjang, lalu ia hembuskan begitu saja seperti menghilangkan beban berat di kepala. “ Biasalah, para penumpang yang turun dari bus, langsung menolak memakai jasa ojek, alasannya dijemput sama kakaknya, sama orang tuanya, atau sama saudaranya.”
            Fachri mengangguk-angguk. Ia teringat para tukang ojek di kotanya di Bangko, Jambi sana. Ia prihatin. Orang-orang tidak lagi menggunakan jasa ojek lantaran sudah ada sepeda motor yang menjemput. “Tidak ikut melamar PNS?”
            Ada, di Mahkamah Agung.”
            “Hasilnya?!”
            “Tidak lulus. Sudah berkali-kali. Mungkin sudah nasibnya, kalau di kampung mah, ya kalau bukan jadi tukang ojek, ya ke sawah, membajak, mencangkul dan menanam padi.”
            Hari terus merangkak malam. Hawa dingin setelah hujan semakin menusuk sunsum. Mereka memutuskan bermalam di rumah Aqil untuk beristirahat. Besoknya pergi ke tempat baralek seperti yang direncanakan.


Embun Penyejuk Hati
Padang, 25 Desember 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar