Senin, 20 Februari 2012

Mendidik Dengan Cinta

MENDIDIK DENGAN CINTA
(Sebuah Implementasi Pendidikan Berkarakter)
Oleh Zahirin, SS
Juara 1 lomba Menulis antar Guru SDIT Adzkia

Mendidik adalah pekerjaan mulia. Disamping mengajar atau mentransfer ilmu kepada murid, mendidik juga memiliki nilai lebih, yaitu; membimbing, mengarahkan dan  mengaplikasikan ilmu teori yang didapat oleh anak didik dengan kehidupan nyata. Di sinilah peran para pendidik untuk menunjuki mana yang positif dan mana yang negatif dari pengalaman anak.
Sedang cinta, merupakan satu kata yang memiliki berjuta makna. Ia tidak pernah habis digali, ia juga merupakan inspirasi bagi para pujangga, jika diselami, ia lebih dalam dari samudra yang paling dalam. Ia lebih tinggi dari tujuh lapis langit. Cinta bersemayam di dalam hati orang-orang yang ikhlas, yaitu sebuah rahasia dari rahasia Allah di dalam hati manusia yang paling dalam.
“Mendidik” dan “Cinta” adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan. Mendidik tanpa cinta akan berujung hambar, karena cinta adalah tali ikatan batin yang tertanam di dalam hati antara guru dan pendidik (guru). Antara suami dan istri. Antara pemimpin dan rakyat. Dan lain sebagainya. Cinta lah yang menjadikan pertemuan antara pendidik dan  anak didik menjadi bermakna.
Demikian juga sebaliknya, Cinta tanpa mendidik akan berujung penyesalan. Ibarat pesawat terbang yang tiada tempat untuk mendarat. Maka  ia terus terbang, terbang dan terbang hingga bahan bakar habis, mesin akan mati, dan akibatnya akan jatuh hancur berkeping-keping. Cinta kepada anak lalu memanjakannya akan menyebabkan ia tidak mandiri. Segala keinginannya dipenuhi, tidak peduli itu baik atau buruk baginya sehingga ia tidak bisa lagi membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, yang hak maupun batil. Setiap kali anak melakukan kesalahan tidak pernah diberi punishment, sehingga ia selalu merasa benar dan menang sendiri. Dan pada akhirnya ia menjadi anak yang egois.
Rasulullah Saw adalah contoh pendidik idola. Beliau mendidik sahabat-sahabatnya dengan cinta. Sehingga jika ditanya pada setiap sahabat satu persatu, maka sahabat itu selalu merasa bahwa dirinya yang paling dekat dengan Rasul. Itu disebabkan aura Rasulullah yang amat dekat dengan mereka.
Jika mendidik dan cinta telah menyatu di dalam hati. Maka mulailah saatnya generasi penerus ini bangkit menjadi leadership, di muka bumi ini,  yang dekat dengan Tuhannya dan baik hubungannya dengan sesama manusia.
Ikhlaskan Niat
Segala amal perbuatan tergantung pada niatnya. Hanya niat yang ikhlas yang mendapat ridho dari Allah Swt. Ketika sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad Saw perihal mengenai ikhlas ini. Rasulullah Saw tidak dapat menjawab, lalu bertanya pula kepada malaikat jibril, malaikat Jibril pun tidak mampu menjawab, selanjutnya Jibril dimintakan oleh Rasul bertanya kepada Allah Swt, lalu Allah menjawab “Ikhlas adalah suatu rahasia dari rahasiaku yang aku tempatkan di dalam dada hamba-hambaku yang beriman.” Niat Ikhlas mengharap ridho Alllah merupakan barometer dalam kesuksesan mendidik. Memperbaiki niat yang salah merupakan awal babak baru dalam dunia kependidikan. Mulailah segera.
Kerjakan Sebelum Engkau Ajarkan Kepada Mereka
Ada kata mutiara yang berbunyi sebagai berikut; “Lebih baik engkau memberi contoh yang baik dari pada engkau memberi nasehat yang baik.” Artinya segeralah lakukan amalan sebelum kita mengajarkan amalan itu kepada anak didik. Semua orang pandai bicara, tapi banyak orang yang gagal melaksanakannya, bahkan hanya sedikit orang yang mau mengamalkannya dan yang lebih memprihatinkan lagi tidak diamalkan sama sekali. Rasulullah adalah orang yang paling awal memberikan contoh yang baik sebelum ia memberi nasehat yang baik itu.
Berikan Senyum Yang Tulus
“Senyumnya kamu terhadap saudaramu adalah sedekah.” (HR. Ahmad). Jangan pernah pelit memberi senyum, karena senyum adalah sedekah yang paling mudah bahkan tidak perlu mengeluarkan biaya sedikit pun. Tersenyumlah, karena tersenyum akan mengobati hati orang yang sedang gelisah dan mendekatkan bathin anak didik pada gurunya.
Cari 1000 Alasan Untuk Tidak Marah
Pada Pelatihan “Menuju Pendidik Yang Visioner, Cerdas dan Mencerahkan” bersama Ibu, Ery Soekrisno, Msc. Disebutkan, carilah 80 alasan untuk tidak marah kepada anak didik. Tapi di sini penulis tambahkan lagi hingga menjadi 1000 alasan untuk tidak marah. Hal ini dimaksudkan agar kita tidak boleh marah. Kalau dahulu, kita pernah mendengar, “kesabaran itu ada batasnya”. Tapi sekarang kita harus fasih mengatakan bahwa “kesabaran itu tidak ada batasnya”. Kenapa? Jawabannya ada pada hadis Rasul yang artinya, “Janganlah kamu marah, niscaya kamu akan mendapatkan syurga.” (HR. Abu Dunya).
Selamilah Dunia Anak Didikmu
Dunia anak adalah dunia bermain dan bermain peran. Karena hanya dengan bermain dan bermain peran lah mereka tumbuh menjadi generasi yang cerdas. Maka didalam mendidik hubungkan dengan nuansa bermain dan ceria. Untuk lebih serunya lagi, buatlah pembelajaran dengan sistem kompetisi agar mereka menjadi termotivasi dan cinta dengan pelajaran itu.
Berdo’a dan Tawakkal
Semua pendidik menginginkan anak didiknya menjadi orang yang sukses. Sukses dunia dan akhiratnya. Akhir dari usaha itu semua tentu kita kembalikan lagi kepada Yang Maha Kuasa, yaitu Allah Swt dengan berdo’a dan bertawakkal.
Embun Penyejuk Hati
Padang, 25 April 2011

Mencintai Karena Allah

MENCINTAI KARENA ALLAH
Oleh Zahirin Al-Ama

            Suatu ketika Rasulullah Saw pulang kemalaman. Sehabis pergi berdakwah. Mengisi ceramah dari satu tempat ke tempat lain. Lantaran karena hari sudah larut malam, Rasulullah Saw urung mengetok pintu buat membangunkan Aisyah Ra. Walau ia berstatus kepala keluarga, pemimpin di rumah tangganya. Ia tidak egois. Ia tidak menyalahkan Aisyah. Bahkan Beliau lah yang merasa bersalah. Ia sangat segan mengganggu tidur Aisyah. Selanjutnya Beliau mengambil posisi tidur di atas balai panjang di depan rumahnya. Kala shubuh menjelang. Aisyah terbangun. Kemudian berjalan ke pintu depan dan membukanya. Betapa terkejut Aisyah. Ia mendapati Rasulullah sudah duduk di atas balai depan rumah mereka, menyambutnya dengan senyum. Aisyah menyesal karena telah tertidur sebelum Rasulullah pulang.
            “Wahai, sang nabi teladan umat, suamiku tercinta, maafkan aku, aku mengaku bersalah karena tertidur hingga aku tidak  membukakan pintu untukmu malam tadi.”
            “Ya Humairoh, aku lah yang seharusnya meminta maaf. Pulang larut malam. Aku lihat pintu telah terkunci. Aku segan mengganggu tidurmu. Jadi akulah yang memilih tidur di sini.”
            Sungguh terenyuh dan terharu Siti Aisyah. Ia tak kuasa menitikkan air mata. Orang yang sangat ia cintai begitu mulia akhlaknya.
            Itu adalah sekelumit kisah cinta sang idola, nabi dan rasul kita Muhammad Saw kepada istrinya Siti Aisyah Ra. Dari kisah ini dapat kita ambil pelajaran, bahwa saling pengertian di antara pasangan adalah kunci harmonisnya rumah tangga. Rasulullah juga mengajarkan kepada kita sebaegai ummatnya bahwa cintailah segala sesuatu karena Allah semata. Cintailah seseorang yang membuat kita semakin dekat/ taqarrub ilallah. Bukan seorang yang makin menjauhkan kita dari Nya.
Maha suci Allah yang telah menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini berpasang-pasangan. Sempurna, seimbang, dan sungguh menakjubkan. Untuk menggabungkan kedua pasangan ini Allah telah memberi naluri yang dinamakan dengan “Cinta”.
            Cinta, kata yang mempesona, ungkapan yang memikat, menawan hati, dan menghipnotis jiwa. Cinta adalah sebuah kata yang tidak habis diselami sedalam samudra, setinggi berlapis-lapis langit. Cinta adalah fitrah yang dimiliki manusia. Selama alam terbentang, selama itu pula cinta akan tetap ada. Cinta layaknya dua sisi kepingan mata uang logam. Sisi yang satu berilustrasikan kebahagiaan dan sisi yang lain bergambarkan kebinasaan.
            Hidup ini adalah pilihan, tergantung kepada para pendamba cinta yang menentukan bagian sisi mana yang akan senantiasa timbul dan berada di posisi atas. Cinta yang dilabuhkan kepada Allah dan Rasul-Nya akan menghadirkan kebahagiaan hakiki yang menaungi hati semua insan. Sedangkan cinta yang ditambatkan pada setan la’natullah dan hawa nafsu, alih-alih akan menjadi impor kebahagiaan, bahkan cinta model ini akan menjadi produsen lahirnya produk kebinasaan yang akan membuat pekat kehidupan.
            Seorang perempuan yang perasaannya digelitik jari-jemari cinta ibarat tanah yang belum dibajak. Bila bukan tanaman dan buah-buahan yang tumbuh padanya, maka serangga dan hama tanamanlah yang akan menguasainya.
            Pernikahan termasuk karunia Allah yang terbesar pada hamba-hambanya. Yakni sebagai jalan untuk menjaga diri, menggapai kebahagian dan meraih keridhoan Allah Swt. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum yang Artinya; dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang.

Hati adalah sumber kebahagiaan. Sungguh gubuk reot yang di dalamnya wanita bisa tertawa itu lebih indah dibanding istana yang ia menangis di dalamnya
            Wanita bahagia adalah yang mendapatkan seorang suami yang dicintainya dan ia pun mencintainya. Sebaik-baik yang diperoleh laki-laki setelah ketaqwaannya kepada Allah adalah wanita yang cantik hatinya. Wanita yang setia yang bias menjaga diri dan bisa menyayangi.
            Seorang pujangga yang bernama Jalaluddin Ar-Rumi, pernah mengatakan, “Wahai pengembara yang telah mengelilingi dunia, kedua matanya telah menyaksikan tanah tersubur penuh bunga-bunga dan memandang kebun-kebun penuh mawar merekah! Demi Allah, katakana kepadaku negeri manakah yang anda lihat paling indah? Wahai wanita jelita, maukah aku tunjukkan kepada anda sebuah negeri yang keindahannya melebihi segala keindahan dan panoramanya menghapus semua panorama?! Demikian itu wahai jelita, tempat di mana para kekasih berdiam. Tanah paling subur adalah tanah yang anda pijak, yakni tanah sang kekasih”.
            Dalam lirik lagu album nasyid The Fikr feat KH Abdullah Gymnastiar tertulis, “Perhiasan yang paling indah, itulah dia wanita sholehah.” Wanita sholehah adalah perhiasan yang paling indah tiada banding baik di dunia maupun di akhirat.

EMBUN PENYEJUK HATI
Padang, 06 Februari 2011

Kado Pernikahan Untuk Sahabat. Selamat menempuh hidup baru Rahmadil dan Lisa, semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dan selalu dalam ridho Allah SWT.
  

Adzkia Berduka

ADZKIA BERDUKA
Kepergian Sang Ustadzah Teladan, Naini, S.Ag



Hari Rabu (27/10) Itulah hari terakhir saya melihatnya. Pagi, sekitar pukul 09.35 Wib di mushalla Ar-Rahmah, saat jam pelajaran kedua menjelang istirahat snack. Ia duduk bersimpuh di dekat pintu mushalla yang menghadap ke jalan raya. Memegang beberapa lembar kartu berwarna kuning di tangannya. Ia mengamati-amati kami yang sedang melaksanakan proses belajar mengajar. Mengamati anak-anak yang ramai. Ada yang sedang bertadarus membaca al-Qur’an, ada juga yang pekerjaannya mengobrol-obrol saja, sedang sebagian yang lainnya mengisengi teman yang lain lagi, bahkan ada juga yang berlari-lari.
Saat itu saya tidak sendiri, di sana ada ust Arlie yang melatih olahraga anak kelas satu. Di samping kanan saya ada ust Ardi yang sedang menyimak tadarus anak-anak bimbingannya. Sedang saya sendiri duduk dikelilingi anak-anak bimbingan Al-Qur’an kelompok saya. Mengetahui hadirnya Ustadzah Naini di samping anak-anak yang sedang membaca Al-Qur’an, saya berpikir bahwa kali ini mungkin ia sedang mensupervisi guru. Saya pun merasa yakin kalau kali ini saya tengah disupervisi secara mendadak. Atau istilahnya supervisi yang tidak terjadwal. Karena sudah beberapa bulan di semester ganjil ini saya belum pernah di supervisi, baik oleh waka kurikulum atau dari korbid Al-Qur’an. Untuk itu saya bersiap-siap mengajar maksimal.
Namun dugaan saya meleset. Ia pergi sebelum jam pelajaran habis. Ia tidak mensupervisi. Ia juga tidak berbicara satu patah kata pun. Selama ia duduk di dekat pintu, ia hanya mengamati-amati anak-anak yang sedang belajar dalam diam. Saya tidak menyangka bahwa hari itu adalah hari terakhir ia melihat anak-anaknya, teman guru-guru di sekolah dan anggota liqo’ bimbingannya.
Rabu sore (27/10) sekitar pukul 16.00 Wib, Ustadzah Naini menghembuskan nafas terakhir dalam perjalanan menjelang YARSI Ibnu Siena Padang. Kabar meninggalnya beredar sangat cepat melalui telepon dan SMS. Kepada pihak keluarga, sanak famili, karib kerabat, handai taulan, tetangga dekat-tetangga jauh, orang tua wali murid, komite serta teman-teman seperjuangan, anak-anak didik, dan orang-orang yang kenal dengannya selama hidupnya.
Semua terkejut. Kejadiannya begitu cepat. Banyak yang tidak percaya sehingga mereka bertanya-tanya lebih dari satu kali pada orang yang berbeda buat memastikannya. Banyak pula yang menganggap bahwa ini hanyalah mimpi, bukan sebenarnya namun air mata mereka akhirnya tetap merembes jatuh. Orang-orang merasa sangat kehilangan seorang sosok Ustadzah Naini, karena pada hari itu tidak ada tanda-tanda ia seperti sakit parah, melainkan ia justru terlihat sehat seperti hari-hari biasanya, namun siapa yang menyangka kalau hari itu Allah sedang menunjukkan kuasanya, mengambil nyawanya di saat orang-orang yang dekat dengannya begitu akrab.
Satu persatu para pelayat berkunjung datang ke RS Ibnu Siena Padang untuk melihat langsung. Pihak keluarga, sanak famili, handai taulan, karib kerabat, anak-anak didik, orang tua wali murid, komite sekolah, teman-teman seperjuangan dan orang-orang yang dekat dengannya semasa hidup. Dalam sekejap saja ruang UGD sudah penuh sesak oleh pelayat hingga tumpah ruah ke lapangan parkir.
Sore menjelang magrib. Jenazah dibawa ke masjid Ar-Rahman Adzkia untuk diselenggarakan. Sirine dari mobil ambulance Rumah Zakat Indonesia yang diiringi oleh para pelayat meluncur menuju Adzkia menempuh jalan Ampang yang kecil dan sedikit macet. Di masjid Ar-Rahman ini jenazah dimandikan, dikafani dan disholatkan sebelum diberangkatkan ke Nagari Guguak Kota Bukittinggi untuk dimakamkan di tempat peristirahatannya yang terakhir.
Adzkia berkabung, kepala sekolah langsung menginstruksikan bahwa Kamis besoknya (28/10) khusus siswa SDIT Adzkia diliburkan. Informasi darurat bersifat mendadak disampaikan pada orang tua wali murid melalui SMS atau telepon langsung, disamping itu informasi juga dituliskan di kertas karton atau diketik komputer di beberapa pintu gerbang masuk sekolah.
Seluruh guru-guru, karyawan SDIT, beberapa staff dari yayasan dan beberapa juga orang tua wali murid Adzkia Kamis paginya meluncur ke Bukittinggi dengan menumpangi empat bus sekolah. Bertakziah hingga mengantarkan almarhumah ke tempat peristirahatan yang abadi. Selamat jalan ustadzah Naini, terimakasih tiada terhingga atas jasa-jasamu selama hidup di dunia, semoga Allah Swt menempatkanmu di syurganya amiin.
                                                           
Suasana di pemakaman Nagari Guguak Bukittinggi

Embun Penyejuk Hati
Zahirin Al-Ama
Padang, 29 Oktober 2010

Cerpen

LAKI-LAKI YANG HILANG DITELAN RANTAU
Cerpen ZAHIRIN

            Kalau memang rantau itu bertuah nak! Pergilah menuntut, setelah mendapat tahu, bawalah balik lagi ke dusun, kembang ilmu di sini, ajar orang-orang, buat dusun kita semarak. Emak dan bapak akan do’akan engkau nak!. Arlinda tak kuasa membendung air mata. Lalu mengembang kedua tangan. Mengisyarat hendak memeluk. Irza mendekati, emak dan anak sama-sama menangis. Meleleh-leleh rembes air mata di pipi keduanya.
            Tibalah saat hendak melepas. Seorang bujang baik budi dikenal masyarakat dusun, ia orang pandai mengaji, ia turut pula dipercaya mengajar anak-anak TPA, pintar pula berceramah. Tak lama lagi, akan hilang sesosok wujud itu, meratap para sanak saudara, karib kerabat, orang tua wali murid, serta teman-teman akrab sebaya. Lalu membawa bayang kenang-kenangannya bersama mereka ke tempat jauh. Sejauh mata memandang. Hingga hilang oleh berlapis-lapis batasan.
            Dalam sebuah angdes yang mengantar ke ibukota kabupaten. Irza melambai-lambai tangan. Semakin lama semakin mengecil kerumun mereka di pandangan. Setelahnya hilang di kejauhan. Kini. Sebuah perjalanan baru nun jauh akan ditempuh. Kanan dan kiri nan asing di mata. Wajah-wajah nan asing di pandang. Negeri-negeri nan asing di singgah.
            Perjalanan sore cukup memakan waktu mencapai Bangko. Malam telah se jam berlalu menjangkau. Orang-orang berjejalan antri di loket. Baginya tidak terlalu susah. Karena pemandangan seperti itu bukanlah pertama kalinya ia lihat. Lain hari, ia turut mengantarkan kakeknya yang hendak berobat ke ibu kota propinsi, Di loket itu juga, di masa yang lain, ia juga turut mengantarkan mamaknya yang hendak berobat juga, masih di loket ini.
            Setelah tamat MAN Irza bersikeras minta melanjutkan kuliah di Padang. Niat itu telah dikemukan sejak ia masih kelas dua. Emak dan bapak turut mengiyakan. Namun rencana itu hampir urung terlaksana. Lantaran kondisi ekonomi keluarga yang tidak memungkin untuk membekali ia selama kuliah di sana. Mereka menganjurkan agar ia bersabar, cari duit dulu selama setahun, setelah terkumpul cukup, barulah mereka melepas. Namun ia bukanlah anak yang mudah menyerah menatap keadaan. Selalu dan selalu ia tumpuk semangat orang tuanya. Hingga akhirnya mereka turut usaha. Mula-mula emak yang datang pada mak ngah Eni, maksud tujuan hendak meminjam uang, dengan menggadai mayam emas. Bersamaan itu, bapak turut pula mendatangi Pendi, seorang toke getah kampung, dengan tujuan sama. Tiada lain usaha, selain hanya meminjam pada orang-orang berada. Walaupun sempat patah semangat, akhirnya usaha pun berbuah hasil.
            Family Raya. Bus malam jurusan Bangko-Padang. Melaju pelan meninggal kota kecil itu. semakin lama semakin kencang berjalan. Bunyi derum mesin mengaum-ngaum tiada henti. Kerlip-kerlip lampu semakin jarang membias, hingga benar-benar hilang sebuah kota mungil itu. Kanan-kiri hanya kelam. Tiada bulan dan bintang menyinari. Hanya bias lampu kepala bus. Ia akan melihat dan melihat jalan lurus panjang itu. sepertinya matanya memang tak akan terpejam malam ini.
            Para penumpang lain telah menghilang suara-suaranya. Tinggallah alunan musik dari tape mengawang-ngawang mimpi. Matanya tetap jalang, mobil berjalan lamban di tanjakan, mencicit-cicit bunyi rem di penurunan. Mengelok-ngelok liukan jalan bak ular. Ia sangat senang memandang yang asing di mata. Semakin jauh malam merayap, ia saksikan pula bias-bias cahaya yang mulai menampak diri sepanjang jalan. Disaksikan kanan dan kiri, tak pernah bosan. Namun, ia tetap merasa hanyut. Negeri baru akan menanti, ia akan menyambutnya senyum berbunga-bunga. Kata orang-orang kota Padang itu indah, besar, datar dengan latar perbukitan di bagian timur, menghadap lepas ke samudra pasifik bagian barat. Ia tiada pernah melihat seperti apa. Namun di sisi lain, ia harus rela meninggalkan dusun. Tempat tumpah darahnya.
*          *          *
25 April 2003. se tahun kemudian.
            Senja mendung bergerimis. Saat beberapa meter menjelang masjid sehabis kuliah. Dua orang berboncengan menepis bahu kanannya. Ternyata ia adalah mamak Andi, seorang senior di kampus. Juga se dusun dengannya, di dusun rumah mereka hanya sejarak tiga buah rumah. Ia mengabarkan, bahwa sore ini juga harus pulang, ada kabar mendadak dan rahasia dari dusun. Mendengar itu, ia menjadi girang sangat, lantaran sudah hampir setahun ini ia tidak pernah balik dusun.
            Menurut rencana, waktu selepas lebaran ini ia balik, terhitung sebulan dari masa sekarang. Ia hendak membelikan baju kurung bermotif mawar untuk emak. Kira-kira tiga hari menjelang lebaran. Namun apa hendak dikata, kabar yang ia dapat begitu mendadak menyeruak. Apalagi saat sekarang ia tak punya sepeser duit pun, duit terakhir telah ia bayarkan ongkos angkot hijau yang ia tumpangi tadi. Singgah di Pasar baru, terus berjalan sejauh dua kilometer mencapai tempat ini.
            Cepatlah! Beritahu mamak Andi, nanti keburu Magrib. Ia telah di masjid, lalu mengganti pakaian di kamar. Di masjid Gunung Nago ini ia tinggal, selain sebagai garin, ia juga sebagai guru tpa. Tinggal di sini semenjak enam bulan di Padang, ia sendiri yang mencari, ia lakukan ini disamping meringankan beban orang tua, ia juga harus terus mengulang-ulang kaji dengan mengajar, menjadi imam, azan serta bermasyarakat.
            Setelah dirasa siap, dengan di antar dua motor di sana, mereka melaju kencang menuju simpang Lubuk Begalung. Mengambil bus malam, jurusan Padang-Bangko. Menghabiskan waktu selama sejam berselang.
            Saat balik kali ini, ia rasa tak tenang saja, gelisah itu terus menyelinap di benak. Namun ia hanya berprasangka baik, besok Shubuh, ia akan lihat Bangko, lalu dusunnya, di dusun ia berniat dalam hati, orang  pertama yang akan ia peluk dan cium lama adalah emak, ia tak perduli emak sedang apa, sholatkah, menyapukah, atau sedang masakkah. baru setelahnya bapak lalu adik-adiknya, Dasir dan Rengga.
            Sampai di dusun jam 03.12 sore. Ia agak terlambat, lantaran bus yang ditumpangi rusak di tengah jalan. Heran, semua mata tertuju padanya sejak dari persimpangan hingga mencapai depan rumahnya. Ia sendiri bingung, kenapa. Orang-orang telah ramai memenuhi halaman rumah, ia belum juga mengerti akan misteri ini. Dan tak lama setelahnya, ia melihat mamak Mukhlis membawa cangkul bersisa tanah, lalu pak ngah Suharja berlari kencang ke arahnya. Emakmu sudah tiada nak! Raungannya jelas terdengar menusuk dan menembus ke dalam jantungnya. Bertambah histeris lagi, adik-adik mungilnya yang malang ikut menangis keras, orang-orang yang tak tahan melihat ikut pula menangis.
            Apa! Berteriak Irza kaget setengah tak percaya, Cuma itu saja yang keluar dari mulutnya, selepas itu rebah ke tanah dan tiada ingat apa-apa lagi.
*          *          *
            Selepas kejadian itu. Ia tiada berselera lagi hendak balik ke dusun. Kalau pun ada itupun hanya waktu lebaran Idul Fitri.
            19 Mai 2007, wisuda sarjana angkatan ke II. Bapak dengan istri baru, adik-adiknya, kakek, mak ngah Impirahmi dengan ke lima anaknya, mak Yul serta, mak wo turut serta pula ikut. Ramai, riuh, bercampur baur menjadi satu. Selama tiga hari mereka di Padang, hari pertama menyaksikan ia wisuda, hari kedua belanja ke Pasar Padang, dan hari selanjutnya jalan-jalan keliling Sumatra Barat.
            Sebelum balik ke dusun. Di terminal mereka berpesan, setelah mengambil akta iv, cepat pulang, janganlah nak kawin di rantau orang, gadis di dusun awak masih banyak. Menyela pula mak wo Ilmi, kalau kau kawin di Padang, aku tak nak melihat kau baralek besok. Insyaallah, insyaallah! Katanya.
            Sehabis menamatkan S I, sedikitpun tak terniat di hatinya untuk balik dusun. Balik ke dusun sama saja ia telah mematikan langkahnya. Terbayang olehnya Jakarta sana. Ia hendak menggapai kota itu, bagaimanapun cara, namun itu adalah cita-citanya. Ia hendak mendapatkan tuah di sana. Sangat ingin ia tinggal di kota metropolitan itu. Lain waktu ia pernah dengar cerita teman, kalau Jakarta itu sangat gemerlap, tak ada beda siang dan malam. Orang-orang ramai, gedung pencakar langit menjulang tinggi, jalan-jalan layang bertingkat-tingkat. Semuanya serba wah.
            Ia sangat tergiur akan cerita temannya. Sebab ia sendiri pernah ke sana. Tapi itu dulu, semenjak ia masih duduk di kelas dua SLTP. Saat sekolah mengadakan studi banding ke kota itu. Ketika itu ia masih lugu, belum begitu banyak mengerti seperti apa yang ia alami sekarang. Ia ingat betul waktu itu, bapak menyuruh memakaikan celana pendek, di sana ada kantong yang dijepit peniti, terus dalamnya di taruh uang sebanyak Rp 350.000. celana itu dipakaikan di dalam, terus ditutupi celana panjang di luarnya. Untuk uang saku di luar di berinya beberapa lembar duit sepuluh ribuan sebanyak delapan lembar. Sebelum berangkat, bapak berpesan agar selalu hati-hati.
            Dalam kamar sunyi senyap. Gerimis yang sedari tadi telah berganti rintik-rintik hujan. Bagai buah simalakama, ia bingung menentukan dua pilihan. Balik lagi ke dusun, sama saja artinya membuat karirnya terhenti. Lanjut merantau ke Jakarta, ia harus siap-siap di terkam kekejaman ibu kota.

Padang, 19 Januari 2008
Embun Penyejuk Hati


Dusun  : desa
Bujang: pemuda lajang yang belum beristri
Balik: pulang
Mak ngah: tante/ adik kandung dari ibu
Mak wo: kakak kandung dari ibu


Cerpen

MENGHALAU RISAU
Cerpen. ZAHIRIN

            Kian larut malam menjangkau. Bersama hawa keheningan yang terpenjara kamar. Menyatu ia hendak buncahkan kegalauan yang tertancap kuat di kepala. Berharap ia akan menyiraminya wewangian bunga-bunga. Rupa-rupa itu menjelma melalui tatapan hati. Dari iringan waktu yang tak pernah lelah berlalu semakin jauh.
            Papa dan mama tak lagi ramah hari ke hari. Selalu mengungkung masa mudanya. Padahal ia sangat ingin sekali menikmati itu layaknya mereka-mereka di sana. pergi camping bersama, kumpul bareng, pesta dan bersuka cita. Sementara ia hanya bisa menatap keramaian dari celah kecil jendela kamar. Itu pun hanya beberapa kendaraan lalu-lalang melintas, anak-anak kecil berlarian, pemuda-pemuda komplek yang ikut pula duduk santai di bangku panjang seberang jalan depan rumah. Menerawang pula akan tatapan batinnya menembus ke tepi pantai, di atas bukit, serta petualang alam bebas, telah dijejali pula seiring menghilangnya mentari di peraduan. Pun bagaimana di hotel, gedung, swalayan tak ketinggalan pula gegap gempita riuhnya.
            Bias kegalauan itu membayang dalam benaknya. Tadi siang suara papa masih terngiang-ngiang di telinga selagi ia masih di Bukittinggi. Ia di sana sudah tiga hari berlalu. Bahwa papa melarang keras ia untuk ikut perayaan tahun baru di sana. Lalu menyuruhnya paksa pulang ke Padang. Teringat pula olehnya bagaimana kecewa teman-temannya yang telah lengkap dengan segala keperluan malamnya melepaskan ia. Juga malunya ia pada si Za, teman yang tempo hari di olok-oloknya tidak gaul, kolot, wong deso, begitu katanya, Kacian... deh lu, lanjutnya sembari menari-narikan telunjuknya seiring goyangan kepala dalam canda. Lantaran Za tidak turut serta merayakannya. Juga pada si Reni adik sepupunya. Ia membayangkan betapa bahagianya dia pergi bersama teman-temannya ke jam Gadang, dan diapun tak ingin Reni mengetahui akan halnya yang batal pergi.
            Malam ini, seperti telah di beritahu tempo hari. Si Za hendak merayakan tahun baru secara sederhana bersama pemuda-pemuda komplek. Tepatnya di jalan depan rumah mama Ani. Dengan iuran alakadarnya, terkumpul cukup lumayan dari belasan anggota buat menu ayam panggang. Mama yang menyiapkan bumbu dengan si Lisa adik sepupu Rina.
            Za datang bersama Rio ke rumah. sementara Ihsan, Dedi dan Iqbal di luar terlihat tengah sibuk mengeluarkan cd, speaker ke tepi jalan depan rumah. Kemudian menyambungkan kabel ke speaker, cd ke arus listrik. Buat persiapan menjelang ayam bakar siap tersaji.
            Ia mengetahui akan kedatangan si Za dari kegelapan kamar. Berharap jangan sampai Za mengetahui kalau ia di sini. Serta menyangka kalau ia sekarang sedang di Bukittinggi.
            Dari dalam ia mendengarkan pembicaraan mereka. Sayup-sayup bercampur suara gelas serta piring yang tengah di cuci, suara bunyi aduan pisau ke papan tempat pemotongan daging. Ia dengarkan suara itu, berharap Rio atau Mama tidak cerita pada si Za kalau ia di sini.
            ”Kalau semuanya tidak boleh pergi, terus bagaimana dengan Rina? Dia kan di Bukittinggi?”
            ”Eh kawan, Rina di kamar tu!” manyun bibir Rio mengarah ke kamar Rina ”Nggak boleh sama papa” lanjutnya
            ”Oh ya!” seru Za girang, lantaran sudah empat hari ini dia tidak melihat batang hidungnya, rasa kangen yang menyelinap sepertinya akan terobati
            ”Brengsek Rio!” geram menggumam Rina dalam hati
            Sesaat itu juga ”Na...! Rina..., keluar lu” teriak Za sembari beranjak dari tempat duduk menuju ruang tengah
            ”Iya...!” menyeru pula ia saat keluar dari daun pintu kamar tak kalah kerasnya, wajah yang terlihat samar dari bias cahaya lampu jalan terlihat masam bercampur tawa yang dibuat terpaksa.
            Za menatapnya, kemudian ”ha, ha, ha...!” meledaklah tawanya mengiringi kusutnnya perasaan orang yang di pandang ”kok di sini? Bukannya di Bukit? Rasain...!”
            Kesal bercampur senang jadi satu di benaknya saat ini. Kesal pada papa dan mama yang tidak memberi kesempatan untuknya sama sekali. Senang karena telah bertemu dengan Za. Seorang sahabat dekat yang pengertian.
            ”He...!” merengek ia menjadikan raut wajahnya merah padam ”dasar orang tua, saya sudah janji dengan teman-teman di sana, kebayang nggak betapa kesalnya” melangkah ke ruangan tempat meja makan, lalu duduk. Melihat ia, Za turut pula duduk di samping kanannya.
            ”Eh, eh orang tua sendiri kok di maki-maki begitu”
            ”Bete!” sesekali menatap wajah Za, sesekali menunduk. Ia merasakan gundah gulana yang menimpa dirinya hilang sekejap, kadang tertawa mengekeh, lantaran ada tempat mencurahkan cerita sialnya.
            ”Pulang, pulang!” ia menirukan suara papa, sambil memajukan bibir, terlihat bentuk bulat monyong, ”nanti tinggal mayat, payah”
            Za hanya diam dalam kata yang mengunci. Tidak habis pikir, kenapa anak zaman sekarang susah sangat diatur.
            ”Ma!” sebuah sahutan terdengar sayup dari ruang dapur.
            Rina bengong seketika, sembari telunjuknya dibuat mencuat di samping keningnya, ”Seperti...?” ia hendak menebak-nebak suara siapa barusan
            ”Reni!” sahut Za mendahului
            ”Iya” menanggapinya segera, langsung saja ia berdiri dan menuju ruang dapur.
            ”Reni...!” mengacungkan telunjuk ke arahnya
            ”Ah, kak Rina?!” setengah kaget tidak percaya, ”Jadi?!”
            ”Iya, tadi siang di suruh papa pulang”
            ”Kamu?”
            ”Sama!”
*          *          *
            Di luar telah ramai dari kalangan pemuda komplek. Ia hanya menyaksikan melalui celah tabir jendela yang di sibaknya dari dalam kamar. Sedari tadi Za mengajaknya untuk ikut serta kumpul bareng bersama. Juga demikian halnya dengan Reni, berkali-kali. Ia paling ngotot, Lantaran tidak ada teman wanita yang diajak ngobrol.
            Malam cerah bertabur bintang menghiasi ruang angkasa. Kerlap-kerlipnya ikut memeriahkan pergantian tahun. Tinggal hanya menghitung jam, sebentar lagi akan bergantilah ia.
            Waktu berlalu terasa singkat, meninggalkan suka dan duka, melekatkan hikmah dan ibrah. Ia merenung, berharap setetes embun untuk kesejukan hati yang dilanda risau tak menentu. Emosi yang tak terkendali. Jiwa yang terpatri dan terkunci sangat dalam menusuk.
            Ia tak lagi menatap hiruk pikuk itu. Mereka yang goyang seirama musik triping dari speakernya. Membakar unggun. Ia tak tahu. Ia hanya membiarkan mereka menikmati masa muda yang tersisa. Bebas tak terbelenggu dari penghalang apapun. Sementara ia akan tetap begini hingga mentari mencibirkan diri esoknya. Diam dalam suara-suara keramaian yang menyerbu gendang telinga dari seluruh sisi. Masih mampu ia redam gejolak bathin yang hendak meledak-ledak.
            Detik meloncat, menit berlalu, jam berganti. Sampailah kini pukul 00.00 Wib,
            ”Selamat tahun baru” berkata lirih tanpa tertuju kepada siapa ia alamatkan. Saat bersamaan itu juga hanya suara riuh yang terdengar dalam diam terpekurnya. Tidak terbesit sedikitpun ia untuk meliriknya, walaupun itu hanya sedikit menyibakkan layar jendela.
            Malam semakin jauh. Bertambah dingin hawa menyapa pori-pori kulit. Suara-suara di luar sana sudah mulai menghilang satu per satu. Tak lama lagi akan lenganglah jalan itu. meninggalkan jejak pembakaran unggun yang menyisakan bara di tepi-tepinnya, serta serakan nasi bertaburan.
            Langkah kaki mama adalah langkah terakhir yang ia dengar. Setelah itu menghilang semua suara-suara. Kosong gendang telingannya. Risau itu kembali menghampiri. Berusaha hendak memejamkan mata. Dalam gelisah panjang. Mencoba ia menghalau risau yang bersarang dan menumpuk di hati secara perlahan. Di dorong sang waktu. Dan hilanglah ia seiring terlelapnya dibuai mimpi.



Padang, 08 Januari 2008
Embun Penyejuk Hati

Cerpen

MATA
Cerpen Zahirin al-Ama

Jika engkau beradu pandang dengannya, janganlah engkau berlama-lama menatap bola matanya. Apalagi jika kalian sampai bermain mata. Karena engkau akan menjadi terlena. Dan  bila kau terlena, maka dari mata itu akan melesat sebuah anak panah secepat kilat. Ujungnya paling lancip. Lalu anak panah yang lancip itu akan menembus-menghujam jantungmu. Menembus bagian dalam yang menjadi raja di tubuhmu itu. Raja yang selalu memerintah tubuhmu itu akan menjadi lemah terkulai. Lalu engkau akan lupa waktu. Lupa diri. Lupa daratan. Dan lupa segala sesuatu.
            Mata itu adalah milik seorang lelaki berparas tampan. Berparas mempesona. Dan menawan setiap mata yang memandang. Ia adalah seorang mahasiswa dari ibukota provinsi. Yang akan menetap untuk waktu beberapa bulan. Dan seorang lelaki yang baru datang ke kampung Tarok ini, kemaren sorenya diantar mobil Jip.  Mereka bertiga beserta sopir di dalamnya saat itu. Ketika menuju kampung ini. Mobil itu berjalan pelan saat melewati jalan masuk kampung. Hati-hati sekali bapak sopir mengendarai mobil di jalan bebatu. Di jalan yang banyak lubang di sana-sini. Di hari cerah seperti ini biasanya jalanan berdebu. Debu-debu dari tanah bercampur pasir yang diterbangkan angin.
Melewati jalur di sepanjang jalan menuju kampung itu ia jumpai beberapa anak berseragam sekolah berjalan sama arah dengan mereka. Mereka, anak-anak itu, berjalan dengan kaki telanjang. Berjalan tanpa alas kaki. Sementara sepatunya dijinjing-jinjing begitu saja di tangan kiri. Sementara tangan satu lagi memegang tas. Demi melihat mobil jip melintas. Mereka bergerak menepi. Berhenti. Lalu memandang ke arah mobil jip yang sedang lewat dengan mata tak berkedip. Saat mobil jip itu mendekat, bapak sopir membunyikan klakson. Lelaki itu melihat jelas anak-anak yang di tepi jalan tadi. Sementara anak-anak itu juga menatap sama. Lelaki itu tersenyum pada mereka. Tapi tidak ada respon. Mereka kaku tanpa ekspresi. Mungkin bingung, mungkin juga tidak mengerti. Mungkin juga karena orang yang dijumpai itu adalah asing. Bukan orang kampung mereka. Bukan orang yang dikenal. Setelah memberi luang untuk lewat. Anak-anak itu memandang saja mobil yang melaju menjauh dan semakin jauh ke ujung jalan. Hingga mengecil, lalu menghilang di paling ujung batas mata memandang.
Di sepanjang jalan itu juga nampak seorang petani memikul gabah di punggungnya. Ia membungkuk-bungkuk menahan beban berat. Pada jalan yang lain ada juga beberapa petani memanggul cangkul di pundak. Serta para ibu-ibu yang membawa keranjang, Membawa rantang. Membawa sabit, golok dan lain sebagainya. Dan di sepanjang jalan yang tidak beberapa kilometer lagi itu, lelaki itu sangat leluasa memandang hamparan sawah yang luas. Atau beberapa petak lahan-lahan lain yang ditanami sayuran kol. Umbi-umbian. Tanaman kentang. Tanaman cabe. Serta Hamparan hamparan bermacam-macam tanaman-tanaman lain.
Di jalanan bebatu yang melintasi hamparan sawah dan ladang itu bapak sopir melambatkan laju jalan mobil. Hingga mereka sangat leluasa menikmati indahnya pemandangan pegunungan-perbukitan nun jauh di arah timur. Pegunungan-perbukitan itu menjadi latar dari hamparan luas sawah-sawah terbentang itu. Sementara di bagian utara terbentang meliuk-liuk sungai panjang. Mengalir tenang. Jernih. Alami. Di hamparan ladang-ladang sejauh mata memandang itu, ia serta teman-temannya bisa lihat lepas di sisi kanan-sisi kiri jalan yang ia lewati.
Lelaki itu ditempatkan di kampung Tarok ini. Ia ditugaskan oleh  dosen pembimbingnya. Untuk melakukan penelitian.
*          *          *
            Keesokan hari. Ketika sehabis melakukan penelitian di ladang-ladang para petani.  Lelaki itu tersenyum-senyum sendiri. Ia terlihat bahagia. Sekaligus bangga pada dirinya sendiri. Betapa tidak, hari ini ia telah sukses mengawali hari pertamanya di kampung ini.
Siang ini, selepas sholat zhuhur. Ia kebetulan berpapasan dengan seorang perempuan muda. Ia pulang dengan berjalan kaki. Karena jarak dari sekolah menuju rumah yang ditempatinya hanya beberapa meter saja. Hingga jarak yang dekat itu dapat ia tempuh sekitar sepuluh hingga lima belas menit. Dan perempuan itu berjalan berlawanan arah dengannya. Demi melihat perempuan itu. Lelaki yang juga guru itu tersenyum dikulum. Karena lelaki itu memang murah senyum pada siapa saja. di samping itu ia juga teramat ramah pada siapa pun. Sejak dari kecilnya. begitu pun sejak ia kuliah di ibukota provinsi. Hingga ia mulai mengajar. Dan sekarang ia di sini. Di kampung Tarok ini, ia merasa lebih dekat. Lebih nyaman dengan masyarakat kampung. Masyarakat yang sangat kental budaya senyum-sapanya.
Perempuan itu berhenti sejenak. Entah kenapa, entah apa pula sebabnya ia memandang lelaki itu demikian. Apakah ia  memandangnya dengan tatapan kagum? Atau dengan tatapan lain yang bermaksud? Bermaksud seperti ada udang di balik batu barangkali. Entahlah. Dan perempuan itu terus saja menatap tajam pada lelaki itu. Mungkin ia melihat wajahnya. Mungkin juga melihat bola matanya yang indah itu. Demi melihat perempuan yang menatap tak berkedip. Juga ia merasa tidak enak rasa. Ia coba menyapa perempuan sembari menundukkan kepala. Hanya itu saja, lalu ia lanjut berjalan meninggalkan perempuan yang mematung itu. Setelahnya, perempuan muda yang disapa itu sintak tersadar. Seperti tersadarnya dari pengaruh hipnotis. Atau seperti bangun dari tidur.
*          *          *
            Beberapa minggu berikutnya. Ia sudah mulai akrab dengan warga. Akrab sama anak-anak. Juga memiliki banyak teman. Paling banyak teman perempuan. Sesekali ia pergi berkunjung. Kadang-kadang ia yang dikunjungi. Mulai dari tetangga dekatnya. Hingga yang paling jauh di ujung perbatasan kampung.
            Pada jalan yang lengang. Tiba-tiba tangannya ditarik oleh seseorang. Ia adalah perempuan muda yang pernah dijumpainya tempo hari. Melihat perempuan itu, tentu, lelaki itu kenal. Perempuan itu, barangkali memang sengaja menunggu kedatangan lelaki itu. Sengaja mencari saat-saat yang tepat untuk berjumpa.
Kemudian perempuan itu melihat-lihat ke-sekeliling. Mengamati kalau-kalau ada orang yang melihat. Dari raut mukanya kelihatan kalau ia lagi cemas. Lalu seketika itu juga ia nampak lega. Karena saat itu memang tidak nampak orang-orang.
            Lelaki itu bingung. Namun ia tetap terlihat tenang. Seperti seolah tidak terjadi apa-apa. Dan perempuan itu menatap lekat bola mata lelaki itu tak berkedip. Lelaki itu sama. Menatap seperti perempuan itu. Tapi ia tidak tahu mengapa perempuan itu seperti ini. Saat ini hanya ada mereka berdua. Di jalan yang lengang lagi sunyi pula. Lelaki itu melepas tangannya dari genggaman perempuan itu. “Maaf, kakak,” Lelaki itu memanggil perempuan itu demikian. Karena rupa perempuan itu sepertinya lebih tua darinya.“Ada apa ya?” Tanya lelaki itu selanjutnya. Dengan suara lembut. Tetap ramah.
            Seperti sebelumnya. Perempuan itu tersintak tersadar, “oh, ma… ma...af!” perempuan itu terbata-bata. Gugup. “Jangan, panggil kakak, panggil nama saja. Nama saya Ratni Sutikanti. Biasa dipanggil Rat.”
            “Oh…, perkenalkan, nama saya Handi.”
            Mata perempuan itu masih saja menatap bola mata lelaki itu. Entah kenapa ia sangat suka memandang. “Aku suka dengan matamu.” Kata perempuan itu dengan senyum yang dibuat semanis-manisnya.
            Lelaki itu tertawa kecil. Ia senang mendengar seorang perempuan yang lumayan cantik itu berada di dekatnya. “Hanya bola mata? Bagaimana orangnya sekalian?” ujar lelaki itu bercanda. Menggoda.
            Betapa senang dan gembira hati perempuan itu mendengar ucapan lelaki itu. Ia Sepertinya ia mendapat sinyal. Berarti tidak lama lagi ia akan segera menjadi kekasihnya. Ia tidak sia-sia kan hal ini. Bagi lelaki itu, ketampanan yang dimilikinya, untuk mencari kekasih tidaklah susah baginya. Untuk mencari pujaan hati. Jadilah mereka pada hari itu sepasang kekasih. Dan perempuan itu, mungkin karena senangnya. Berbunga-bunga hatinya dengan rasa yang tidak dapat diungkapkan. Ia berlari-lari pulang. Rasanya hari ini adalah hari yang paling bahagia dalam hidupnya.
            Belum seminggu mereka menjalani pacaran. Lelaki itu kenal pula dengan seorang perempuan lain. Seorang perempuan ini rupanya lebih cantik dari perempuan pertama yang ia kenal. Seperti dengan perempuan pertama itu. Perempuan itu pun awalnya menatap kagum lelaki itu. Ia seperti terkena hipnotis. Lalu mereka berkenalan. Lelaki itu harus mengakui kecantikannya. Ia kagum bukan karena hanya kecantikan perempuan ini. Tapi auranya yang memancar dari wajahnya membuat siapapun termasuk dirinya tidak akan bosan memandang. Ia memiliki tubuh semampai. Ia juga memiliki mata yang indah seperti matanya. Ia memiliki segala sesuatu yang lebih dari perempuan pertama. Di sini, mereka bertemu di jalan yang lain. Perempuan ini mengatakan bahwa ia kagum pada lelaki itu. Ia menawarkan lelaki itu pergi ke suatu tempat yang indah besok senja, ke atas jembatan gantung arah selatan kampung perempuan itu mengajaknya. Ia ingin lelaki itu tahu betapa indahnya pemandangan di sana. Tentu, lelaki itu menyetujui. Bahkan ia sangat senang. Karena ia memang sangat menginginkan pertemuan ini. Kalau begitu kita bertemunya di sini. Ujar perempuan itu tersenyum. Setelah pertemuan itu, lelaki itu masih berdiri saja di sana. Sementara perempuan itu berlalu pergi. Sama dengan perempuan pertama. Ia senang gembira dengan rasa yang tidak dapat diungkapkan.
Seperti sudah dijanjikan. Perempuan itu telah hadir di jalan ini. Di jalan kemaren mereka bertemu dan berkenalan. Juga di jalan yang dijanjikan. Mereka mulai berjalan. Awalnya biasa-biasa saja. Namun perempuan itu mulai meraih tangan lelaki itu. Jadilah mereka berbimbingan. Mereka melewati jalan kecil. Kadang-kadang bebatu. Kadang-kadang tanah becek yang licin. Hati-hati sekali mereka lewat di jalan menurun. Mereka berjalan melambat di pendakian. Lumayan jauh, beberapa kilometer dari kampung. Namun tidak terasa oleh sepasang kekasih yang sedang dilanda asmara ini. Hingga sampai di dekat jembatan gantung itu sepertinya mereka hanya menempuh jalan yang berjarak beberapa meter saja. kini, mereka sudah di atas jembatan gantung. Lelaki itu melihat-lihat berkeliling. Di hadapannya terbentang sungai memanjang meliuk-liuk. Nun jauh di sana terhampar pegunungan-perbukitan. Pada tempat yang lain nampak olehnya beberapa rumah-rumah penduduk yang berada di seberang jembatan gantung ini. Beberapa kerbau-kerbau mandi berkubang di tepi hutan-hutan. Lelaki itu menikmati pemandangan. Sementara perempuan itu, terus menatap mata indah lelaki itu. Dan lelaki itu tiada tahu.
*          *          *
             
            Beberapa bulan selanjutnya kampung Tarok menjadi heboh. Tidak hanya para gadis-gadis saja yang jatuh hati pada lelaki itu. Tapi juga para perempuan yang sudah bersuami. Dan lelaki itu, banyak memiliki kekasih, sepertinya setiap segala yang datang untuk meminta hatinya untuk mereka, ia menerima begitu saja. Nyaris seluruh perempuan di kampung ini menjadi kekasihnya. Setiap kali ia bertemu perempuan. Setiap kali itu pula ia berkenalan. Setiap kali itu pula para perempuan itu menyatakan kekagumannya pada lelaki itu. Dan ia pun demikian.
            Mendengar berita ini. Para lelaki di kampung Tarok ini meradang. Mereka sangat marah setelah mengetahui para istri-istri mereka telah berselingkuh. Mereka membenci mata lelaki itu. Para pemuda-pemuda yang kekasihnya juga berpindah juga demikian. Mereka cemburu.  
Dini hari, lelaki itu terbangun ketika pintu depan rumahnya digedor sangat keras beberapa kali. Duduk sejenak di atas kasur. Lalu berpikir sejenak. Lalu terdengar olehnya suara gaduh di luar sana. Sesekali terdengar bunyi teriakan yang memintanya paksa keluar. Sesekali terdengar bunyi ancaman. Mereka mengancam akan membakar rumahnya apabila ia tidak mau keluar. Lelaki itu berjalan menuju pintu. Di pintu, suara-suara orang-orang semakin memekakkan telinga. Dilihatnya melalui celah pintu yang berlobang. Setelah nampak apa yang ada di luar ia menjadi takut. Kakinya gemetar. Ia terkencing-kencing di celana.
Gubrak…! Pintu di dobrak.Pintu itu rebah lalu menimpa lelaki itu. Orang-orang mendapatinya. Kemudian lelaki itu menyeretnya keluar. Lelaki itu berontak. Ia ingin lepas. Lalu lari. Namun jumlah mereka teramat banyak. Jangankan lepas, menggerakkan tangan saja ia tidak berdaya. Sementara, di luar orang-orang ramai menyambut. Mereka mengelilingi. Menyaksikan sesuatu pertunjukan. Lalu salah seorang di antaranya mengeluarkan pisau. Dengan pisau itu ia dekatkan ke bola mata lelaki itu. Dua orang di depan membuka kelopak matanya. Dan tanpa ampun. Seseorang  yang mengeluarkan pisau itu langsung menancapkan pisau ke bola mata. Darah menyembur. Begitu pun dengan mata yang satu lagi. Lelaki itu meraung-raung sekeras-kerasnya. Meminta tolong. Namun tidak ada satu pun yang datang menolong. Sementara orang-orang banyak itu berlalu begitu saja tanpa menghiraukan raungan pesakitan lelaki itu.

Embun Penyejuk Hati
Padang, 24 Mei 2010

Cerpen

NEGERI PARA ORANG KAYA
Cerpen Zahirin al-Ama

            Walau tiada hujan atau rinai turun. Tapi hawa malam itu terasa dingin merasuk sunsum. Karena dari sepanjang pagi-sore hawa basah. Bahkan gelap menjelang pun mentari tiada menampakkan diri. Mentari yang selalu muncul dari bukit kota dan menghilang di samudra Fasifik itu terhalang mendung. Terhalang udara berkabut. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Berbulan-bulan. Entah sampai berapa lama berakhirnya. Memang demikian keadaan cuaca akhir-akhir ini. Dalam suasana sedemikian rupa Fajri tampak seolah-olah tidak merasa dingin. Padahal dia hanya mengenakan baju oblong tipis. Celana pendek. Serta sarung yang dililitnya di leher.
Fajri sangat jengkel. Geram pada saat ini. Kemarahan tadi siang ingin meledak-ledak saja. Namun tertahan di dalam dada. Dia mengingat-ingat kembali tentang seorang pedagang asongan kurang ajar di atas buskota itu. Betapa tidak, gara-gara pedagang asongan itu menyodor paksa minuman Frutang, Minuman Okky Jelly Drink, rokok, permen atau segala jenisnya. Dan Fajri menolak. Dia memberikan kembali minuman yang sudah di pahanya itu pada pedagang asongan itu. Selanjutnya terjadilah dorong mendorong minuman itu antara dia dan pemilik dagangan itu. Pedagang asongan itu mengotot memaksa agar dibeli. Sementara Fajri sebaliknya. Menolak. Pedagang asongan itu rupanya belum menyerah. Dan entah kenapa akhirnya minuman itu pecah. Airnya menciprat. Maka basahlah sebagian baju dan celana Fajri. Pedangan asongan itu menuntut rugi. Mata pedagang asongan itu melotot tajam. Fajri ciut. Walau baju dan celana sudah basah. Dia tidak ingin mencari masalah. Tidak ingin melawan. Tidak ingin berurusan panjang. Boleh jadi di luar sana mungkin pedagang asongan itu punya teman banyak. Maka dia putuskan mengalah saja. Dia membayar harga minuman itu dengan hati dongkol.
Pun ketika dia singgah berhenti. Giliran membayar ongkos pada stokar. Dompetnya raib. Raib dalam buskota mungkin. Dan  dia tidak punya uang sepeser pun.. Pasalnya dia ingat betul sebelum naik buskota ini dompetnya masih ada. Masih utuh. Dan uang di saku tadi adalah uang terakhir sebagai ganti rugi minuman Frutang pedagang asongan itu. Kalang kabut Pikirannya kala itu. Maka tak ayal carut marut pun meluncur dari mulut stokar. Sumpah serapah. Dan segala apapun kata-kata caci dan hina ditumpahkannya. Termasuk satu yang dia ingat. Kalau miskin tak punya uang jangan naik bus, jalan kaki tu sana!
Dia mengutuki nasibnya. Kalau saja dia jadi orang kaya. Maka dia tidak perlu lagi naik buskota. Tidak lagi berurusan sama pedagang asongan kurang ajar itu. Sama stokar gila yang tak tahu adab sopan santun itu. Juga tidak perlu lagi berjejal-jejal. Bersempit-sempit. Karena orang kaya bisa kemana-mana dengan mobil pribadi. Makan pun bisa pergi ke tempat restoran mahal. Tidak seperti sekarang. Makan pangsit murahan yang selalu lewat depan rumahnya setiap sore itu. Sudahlah kotor. Kurang enak lagi. Atau makan pical etek Minah tetangga sebelah rumahnya yang juga tidak enak itu. Caci Fajri dalam hati.
Fajri masih duduk mencangkung di depan teras. Di rumah peninggalan almarhum kedua orang tuanya. Emak meninggal beberapa bulan lalu. Bapak meninggal sewaktu ia masih kelas dua SD. Dia mengingat-ingat kejadian itu
Mengenai emak. Dia mendapat keterangan dari dokter waktu itu bahwa emak menderita penyakit liver. Liver yang diderita emak itu sudah sangat parah. Diobati pun sudah terlambat. Sehingga sulit harapan sembuh. Kalau pun ada namun sangat tipis. Emakmu terlalu letih bekerja, kata dokter itu. Semestinya tidak kau biarkan. Kau larang dulu. Kalau badannya kurang sehat anjurkan istirahat. Sampai keadaannya pulih lagi.
Fajri yang mendengar matanya menjadi berkaca-kaca. Ia mengakui apa yang diucapkan dokter itu. Dokter itu benar. Memang emak adalah seorang pekerja keras. Tangguh. Ulet. Dia adalah tulang punggung keluarga semenjak bapak tiada. Dia adalah seorang emak yang merangkap seorang bapak. Mencari hidup. Mencari makan.
Emak bekerja sebagai tukang pemecah batu. Dari situlah emak mengasapi dapur.Menyekolahkan Fajri hingga tamat kuliah. Sesekali waktu libur Fajri turut serta membantu. Tetapi hanya sekedar saja. Hingga ketika Fajri sudah bekerja sebagai seorang guru honor di beberapa SMP Negeri. Fajri sudah melarang emak bekerja. Cukuplah dia yang bekerja. Gaji yang didapatnya dari bekerja sebagai guru itu cukup untuk makan. kalau pun emak ngotot ingin bekerja. mencari penghasilan. Emakkan bisa menjual goreng. Menjual bakwan. Menjual kerupuk di depan rumah, begitu ungkapnya suatu waktu. Fajri berkata demikian agar emak tetap di rumah saja. Tidak lagi mencari batu. Menjunjung batu. Memecah batu. Namun emak menolak. Sudah kau jangan cemaskan emak. Tabung saja uangmu. Simpan sampai banyak. Katanya kau mau melanjutkan kuliah. Kalau emak tidak bekerja bagaimana kau bisa menabung. kalau emak pakai uang gaji kau yang hanya seberapa itu apalagi. Tambah tidak cukup.
Setiap pagi ketika emak masih hidup, dia selalu pergi ke banda mengambil batu. Ibu berjalan menuruni tebing setengah curam. Menyandang sehelai kain sarong usang di bahu. Kain itu akan dilipat-lipat bulat lalu ditaroh di kepala. Dan ibu akan mengangkatkan sebuah batu dua kali lipat besar kepala di atasnya. Ibu naik tebing lagi. Mengumpulkan batu di tepi jalan kampung dekat banda itu. Lalu ibu menuruni tebing lagi. Mengambil batu. Naik lagi. Dan begitu seterusnya berulang. Sampai batu-batu besar itu dirasa banyak menumpuk. Barulah dia berhenti turun tebing naik tebing. Selanjutnya batu itu pun dia pecah-pecah dengan martil besi. Kalau batu itu masih berbentuk utuh agak besar. Emak akan mengayunkan martil sambil berdiri. Dengan gaya khasnya. Kaki kiri di depan membentuk kuda-kuda. Kaki satu lagi tegap miring ke belakang. Sebaliknya kalau batu itu kecil-kecil. Atau batu besar yang sudah pecah-pecah. Emak akan mengayunkan martil sambil duduk di atas batu yang menumpuk itu. Sampai siang emak akan berhenti memecah batu-batu itu. Emak istirahat sejenak untuk sholat Zhuhur. Menyiapkan makan siang untuknya. Dan untuk Fajri sepulang mengajar. Sorenya kerja lagi.
Sampai larut Fajri mengenang emak. Mengenang betapa malang nasibnya. Betapa nasib mujur tidak berpihak padanya. Hidup miskin. Diremehkan orang-orang. Direndahkan. Kadang tidak habis terpikir olehnya. Mengapa Tuhan menciptakan makhluk ada yang miskin seperti dirinya. Dan berkata-kata dalam hatinya. Tuhan itu tidak adil. Tidak penyayang kepada hamba-Nya. Kalau saja dia memberikan seluruh manusia kekayaan. Harta benda melimpah. Emas. Intan. Berlian. Tentu tidak akan ada yang mengeluh. Tidak ada yang menderita. Sedih. Duka. Nyatanya yang ada banyak pengamen, pengemis, anak jalanan, pencopet, penodong, perampok,pencuri, perampok.
*          *          *
            Pada suatu waktu. Sesuatu yang ajaib terjadi. Kota tempat tinggal Fajri dihujani ratusan, ribuan, bahkan jutaan uang.  Uang itu tumpah ruah dari langit. Memenuhi seantero jagad atas kota. Uang-uang itu jatuh di jalan. Di atas atap. Di taman. Di selokan dan di mana saja dalam kota. Melihat kejadian aneh dan langka itu, Orang-orang berhamburan keluar rumah berebut uang. Orang-orang berbondong-bondong meraup uang-uang yang telah jatuh itu. Ibu-ibu. Bapak-bapak. Anak-anak sekolah. Guru-guru. Pejabat walikota. Pengamen. Pengemis. Pemulung. Para pengendara motor dan mobil mendadak berhenti. Mereka keluar. Meninggalkan mobil dan motor di seluruh seantero jalan kota. Kendaraan berhenti total. Jadilah kota itu riuh. Riuh memperebutkan uang.
            Kejadian itu berlangsung selama setengah jam. Seolah tidak ingin ketinggalan. Para ibu-ibu mengambil karung-karung di rumah mereka. Mengisi uang-uang itu ke dalam karung-karung itu. Setelah penuh mereka akan membopong masuk karung itu ke dalam rumah. Kemudian kembali lagi keluar. Mengisi penuh uang. Dan masuk rumah setelah penuh. Demikian halnya yang lain. Ada yang membawa kardus. Ada yang membawa kain sarung. Dimasukkan dan kain itu digulung-gulung bagian atasnya. Tapi ada juga yang memasukkan ke dalam baju dan saku. Demikian juga halnya dengan Fajri. Dia turut membawa berkarung-karung uang.
            Malam itu dia menghitung-hitung jumlah uang itu sampai larut. Fajri menghitungnya sambil terkantuk-kantuk. Jumlah uang bervariasi. Dia mengumpulkan dengan jumlah nilai mata uang yang sama. Dan ternyata benar saja, akhirnya dia sudah pulas pada setengah karung pertama. Padahal masih ada tiga karung lagi menunggu.
            Seperti biasa pagi itu Fajri berangkat kuliah. Dia menunggu bus kota di depan rumahnya. Dengan berpakaian rapi. serta dengan sebuah tas sandang yang diisinya berjuta-juta uang di dalamnya. Sengaja. Sepulang kuliah nanti dia berencana hendak membeli handphone paling mahal. Membeli mobil mengkilat. Makan di restoran termahal.
            Namun pagi itu jalan lengang. Bus kota tidak tampak menambang. Angkot pun tidak kelihatan. Taksi pun sama. Tidak menambang. Yang ada hanya mobil pribadi saja. Pemandangan yang aneh pikirnya. Mungkin saja bus kota itu sedang mengisi penumpang di tengah jalan. Dia mengira-ngira. Atau mengisi bensin di SPBU. Dia mencoba bersabar. Sesekali dia duduk mencangkung menunggu. Sesekali berdiri gelisah. Namun hari ini sungguh hari yang aneh. Hampir satu jam dia berdiri menunggu tapi bus kota itu tetap tidak muncul-muncul. Dengan berat langkah. Terpaksa dia berjalan menuju kampusnya yang berjarak lima kilometer itu. Dia tidak habis pikir, kenapa pada hari ini begitu aneh.. Sesampainya di kampus alangkah terkejutnya, kampus tempat dia kuliah sepi. Tiada nampak satu orang pun. Lemah lunglai badan Fajri. Namun dia paksakan juga pulang. Jalan kaki lagi. karena jauh berjalan. Dia ngos-ngosan.
            Fajri merasa haus setelah jalan kaki. Dia berdiri di depan pintu. Mengharap ada tukang cendol lewat. Es krim. Es Gogo atau apa saja yang penting bisa menghilangkan dahaganya. Belum hilang penasaran pagi tadi. Kali ini dia dihadapi dengan tidak lewatnya tukang cendol, es krim, es gogo. Dia sudah lama menunggu. Dan setelah yakin bahwa kesemua itu tidak akan muncul-muncul lagi. Maka dia masuk ke dalam. Mencari air di ruang tengah. Sebuah teko yang terletak di atas meja itu diraihnya. Namun terasa ringan. Tidak ada air. Lalu dia berjalan ke dapur. Mencari sisa-sisa air masak. Maka dia putuskan memasak air di kompor saja. Walaupun agak sabar menunggu hingga mendidih tidaklah apa-apa. Namun apes, minyak tanah habis. Hendak membeli namun tidak ada satu pun penjual minyak tanah keliling lewat. Terpaksalah pada hari itu dia minum air kran.
            Pun ketika hendak makan. Dia berjalan mencari restoran. Dia melakukan ini lantaran karena tidak ada angkot atau bus kota yang bisa dia tumpangi. Beberapa jauh dia berjalan, sampailah dia pada sebuah restoran ukuran menengah bertuliskan “Sederhana” tutup. kafe-kafe juga tutup. tempat penjual pical dan lontong pun demikian halnya. Tidak ada satu pun yang buka. Semakin jauh Fajri berjalan. Semakin dia dibuat bingung tidak mengerti. Semakin banyak dia temukan toko-toko, kedai-kedai, dan warung-warung tutup. perutnya lapar tercabik-cabik. Kerongkongan haus. Tidak ada satu pun yang bisa dimakan. Dia merasa sangat tersiksa dengan kekayaan. Dia ingin seperti dulu lagi.
            “Hei pak de, kebetulan bertemu ni. Tidak jual pangsit hari ini?” Tanya Fajri dengan sedikit ulas senyum.
            “Buat apa jual pangsit?!” Jawab Pak De itu sambil menunjukkan uang bergepok-gepok dari dalam sakunya. Lalu dia pergi dari sana.
            Pada jalan yang lain pula. “Hei Bi Minah, mau kemana? Tidak jual lontong lagi? Aku lapar ni, tolong…, aku sangat lapar.” Pinta Fajri memohon-mohon.
            Bi Minah mencibir sembari memalingkan muka, “Enak saja kau, bilang aku penjual lontong. Kalau mau uang, ini. Ambil!” Bi Minah melempar uang ke muka Fajri dan berseraklah uang-uang itu.
            “Tidak bi, aku tidak butuh uang, yang aku butuh lontong. Hanya lontong.”
            Bi Minah berlalu tidak acuh. Setelah bi Minah. Lalu Udin si penjual minyak tanah. Fajri pun sama. Memohon-mohon agar Udin mau menjualkan minyak tanah untuknya. Berapa pun akan dibayar. Satu juta. Dua juta atau sepuluh juta. Namun seperti Pak De dan Bi Minah, Udin pun menjawab hampir sama. Tidak ingin bekerja menjual minyak tanah itu lagi. Uang banyak. Harta banyak. Sudah beberapa orang yang Fajri temui. Semuanya menjawab sama. Malas bekerja itu-itu saja. Ingin beralih profesi ke tingkat yang berlevel tinggi. Karena uang-uang itu semua penduduk kota itu masyarakat berubah total.
            Dalam lesu Fajri berjalan pulang. Langkahnya gontai. Perut kosong tidak terisi. Uang dalam saku berceceran sepanjang jalan. Dia biarkan saja. Cuek. Fajri merasa sangat menderita. Rupanya kalau semua orang kaya tidak seperti yang dia bayangkan. Dia ingin kembali ke kehidupan semula. Kehidupan sebelum masyarakat kota sekarang. Baru dua hari dia merasakan hidup kaya. Selama itu pula dia merasa menderita. Pandangan matanya berkunang-kunang. Sesekali kabur. Dan dia tidak menyangka sama sekali kalau ada lobang got besar di depannya. Dan bug…!
            Fajri terjatuh dari tempat tidur. Dia mengusap-usap mukanya seolah-olah dia tidak percaya bahwa yang terjadi barusan adalah mimpi. Sesekali dia tampar pipi kanan-pipi kirinya. Memastikan apakah dia masih mimpi. Atau memang sudah di alam nyata. Tergesa-gesa dia menuju dapur. Diambilnya teko lalu diisi air ke dalam gelas dan diminum. “Alhamdulillah…, Alhamdulillah…, Alhamdulillah…!” berkali-kali dia mengulang kata-kata syukur itu.
            Menjelang berangkat kuliah. Dia singgah terlebih dahulu di kedai lontong bu Minah. Sambil makan dia melihat lalu-lalang kendaraan di jalan. Tak lama setelah itu bus kota sudah berhenti untuknya. Dia masuk ke dalam bus kota dengan senyum. Orang-orang yang sempat melihatnya menjadi terheran-heran.

Embun Penyejuk Hati
Padang, 22 Desember 2009