Senin, 20 Februari 2012

Cerpen

UJUNG JALAN
Cerpen Zahirin al-Ama

            Ia seperti seorang bisu yang tuli. Tidak mendengar. Tidak pula menjawab sapa. Padahal ia tidak bisu. Dan ia tidak pula tuli.
“Jangan pernah engkau pergi ke ujung jalan itu.” Emak menunjuk ke jalan kecil yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Jalan kecil arah ke sebuah rimba belantara.
            “Kenapa mak?!” Aku bertanya penasaran.
            “Sudah banyak orang yang ke sana, tapi tidak kembali-kembali lagi. Mungkin tersesat jalan. Mungkin juga sudah dimakan binatang buas. Atau hilang dibawa oleh makhluk halus. Dibawa oleh sebangsa Jin, dedemit, hantu, siluman atau entah apa namanya. Mereka itu dibawa ke alam yang lain.”
            Mendengar penjelasan Emak, tegak bulu kudukku. Ngeri aku dibuatnya. Tapi aku masih bisa berpikir secara logika. Keterangan Emak itu tidak masuk di akal, pikirku. “Ah… Emak pasti mengada-ngada. Sengaja menakut-nakutiku. Mana mungkin dizaman modern yang serba canggih ini ada hal-hal mistik yang begituan. Itu hanya mitos. Sudahlah Mak, aku bukan anak kecil lagi.”
            “Hush…!” Emak membelintangkan telunjuknya di bibir. Matanya dipelototkan. “Asal saja kau ngomong. Jaga mulutmu itu, itu gunanya kau sekolah, supaya kau bisa bercakap-cakap elok.”
            Suasana hening seketika. Di luar Dedek memanggil. Sore ini kami berjanji hendak pergi memancing ikan. Di sungai kecil yang membelah kebun kulit manis petani bagian arah timur. Biasanya kami pergi memancing hingga ke hulu sungai di kaki gunung Masurai. Kesempatanku mengelak dari Emak. Aku segera beranjak dari duduk menemuinya di depan rumah.
            Tapi sebelum keluar Emak sudah mencegat dengan berkata. “Ingat kata Emak, jangan sekali-kali kau pergi ke ujung jalan itu.” Emak mengacungkan telunjuknya ke jalan yang tadi.
            Sambil berjalan keluar aku mengangguk-angguk malas. Di kamar, adik bungsuku yang masih bayi menangis. Mungkin ia lapar minta air susu. Mungkin tidurnya terganggu oleh celanannya yang basah kena air kencingnya. Atau boleh jadi juga digigit semut.
*          *          *
            Senja hari. Seorang laki-laki, muncul dari kejauhan. Berjalan dari ujung jalan. Ujung jalan yang dilarang oleh Emak padaku untuk pergi ke sana sebagaimana diceritakannya tempo hari padaku. Siapa saja yang masuk ke ujung jalan itu maka tidak akan selamat kembali pulang. Kata-kata itu tergiang di telingaku.
Tapi Laki-laki itu muncul dari ujung jalan itu. Berarti ada orang yang selamat kembali. Emak pasti mengada-ada.
Namun ada yang aneh dengan laki-laki kurus tinggi itu. Ia berjalan lurus ke depan. Tanpa menunduk. Tanpa mendongak. Tanpa bicara. Emak dan Sari adik perempuanku baru saja pulang dari sungai sehabis mandi serta mencuci piring-piring makan dan cawan-cawan minum. Demi melihat laki-laki itu, Emak meletakkan ember bawaannya di tanah.
            Angin dari ujung jalan bertiup agak dingin dari biasanya. Daun-daun mati berterbangan. Laki-laki itu berjalan semakin mendekat. Kini nampak jelas wajahnya.
            “Sabri…?! Kamu Sabri kan?” Sapa emak saat ia lewat di depan rumah. Emak menatap lamat-lamat. Memastikan bahwa orang yang dipanggilnya itu memang benar-benar Sabri.
            Tapi orang tinggi kurus berambut ikal yang dipanggilnya dengan nama Sabri itu tidak ada reaksi. Seperti seorang bisu yang tuli. Tidak mendengar. Tidak pula menjawab sapa. Ia terus saja lewat, meninggalkan emak dan Sari di depan rumah. Ia berjalan lurus ke depan. Tidak menunduk. Tidak mendongak. Wajahnya pucat pasi. Putih, seputih kain kafan. Emak melongo, sedangkan Sari tidak ambil pusing. Mungkin ia belum mengerti. Baru berumur empat tahun.
            Emak masih tetap berdiri di depan rumah. Menatap orang tinggi kurus berambut ikal itu. Berjalan masuk kampung. Emak merasa tidak nyaman. Ia menduga-duga ada sesuatu yang buruk bakal menimpa kampung ini.
            Azan Magrib berkumandang. Emak menggandeng Sari berjalan kaki ke masjid untuk sholat jama’ah, sekaligus mengantarnya mengaji. Jarak antara rumahku yang hanya beberapa ratus meter saja. Di jalan mereka berbaur dengan beberapa orang jama’ah berpakaian putih-putih, berjalan ke arah yang sama. Ke masjid. Di perkarangan anak-anak TPA berseragam hitam putih juga sudah banyak yang hadir. Beberapa di antaranya ada yang berlarian kian-kemari. Di jalan, pikiran Emak dihantui oleh kejadian aneh senja tadi.
*          *          *
            Malam ini kami makan dengan lahap. Aku suka sekali masakan Emak. rasanya sangat enak. Bagiku makanan Emak adalah makanan yang paling enak di dunia. Emak menggulai ikan patin dengan dicampur tempoyak. Asam durian yang disimpan dalam batung. Asam durian yang aku kumpulkan bulan lalu. Ketika itu durian lagi musim-musimnya. Umumnya  batang-batang durian berbuah lebat Selama hampir dua bulan lamanya. Selepas sekolah aku pergi mencari durian. Kadang sendiri. Kadang dengan teman-temanku.
Aku pergi ke parak-parak durian yang tidak dihuni oleh si empunya. Tandanya adalah batang-batang durian yang tidak diberi pagar di sekelilingnya. Biasanya ada banyak durian yang jatuh bergelimpang. Di sana, di sekitar batangnya. Aku tidak sendiri. Ada beberapa orang lain yang turut mencari sepertiku. Kalau orang-orang lagi sepi aku bisa mendapat banyak. Saking banyaknya aku tidak sanggup menjinjingnya pulang. Namun kalau orang-orang banyak mencari, paling-paling aku hanya mendapat satu-dua. Bahkan tidak dapat sama sekali kalau lagi apes-nya.
Kadang-kadang aku pergi mencari durian bermalam. Biasanya malam Ahad. Berdua dengan temanku bahkan lebih. Pergi sesuai waktu yang dijanjikan. Mempersiapkan segala peralatan dan bekal; senter, selimut, rokok, periuk, cawan, kopi dan banyak lagi lainnya. Kami mencari durian berpencar. Selanjutnya hasil durian itu kumpulkan disuatu pondok yang kami buat. Di sana ada seorang teman yang menjaga hasil-hasil durian yang didapat. Durian-durian itu harus dijaga, karena lengah sedikit saja. durian-durian itu akan raib diambil oleh sekelompok orang-orang usil.
Di pondok kami nyalakan api unggun. Kami bergantian piket menjaga. Piket biasanya akan duduk di dekat api unggun. Menghangatkan badan dari terpaan hawa dingin angin malam yang merasuk. Tidak hanya kami. Orang-orang lain pun demikian. Kami bersaing untuk mendapat durian-durian yang banyak. Aku suka mengerjai orang-orang itu. Mereka juga tak kalah mengerjai. Kami saling mengadu nyali. Di dalam parak-parak durian yang luas dan jauh dari kampung itu.
 Kadang, beberapa orang mengelilingi satu batang durian yang berbuah lebat. Mereka menunggu durian jatuh. Saat jatuh, kami berlomba mengejar. Yang pertama kali menyentuh durian itu, maka durian itu menjadi miliknya. Aku termasuk orang yang kencang dalam urusan lari. Namun lemah dari segi tekhnik. Setiap kali mengejar durian itu nyaris aku tidak pernah mendapat. Aku ingat, ketika itu durian lepas dari rantingnya. Aku berlari-lari sekencang-kencangnya menerobos tunggul-tunggul runcing, duri atau batang-batang yang patah. Karena terlalu kencangnya durian yang hendak aku gapai itu terlangkahi, sedang lawan yang sama mengejar yang berada di belakang, dengan entengnya ia mengambil durian itu.
Emak juga sering lewat di sini. Ia bersama beberapa orang temannya pergi mencari daun rumbia. Daun rumbia itu Emak gunakan untuk membuat karung-karung untuk tempat gelamai. Kalau lagi musim durian begini, setiap kali Emak pergi mengambil daun rumbia. Setiap kali itu pula ia membawa durian.
*          *          *

Dugaan Emak beberapa hari yang lalu memang benar. Orang bertubuh kurus yang dipanggilnya Sabri itu berperilaku sangat aneh. Tidak seperti biasanya. Pasti ini ada hubungunnya dengan ujung jalan itu. Ujung jalan larangan, ya semenjak ia keluar dari ujung jalan itu ia menjadi seperti orang bisu. Tidak mendengar orang memanggil. Tidak pula menjawab sapa.
Sabri adalah orang yang periang, suka bercanda, tertawa lepas, dan sangat dekat dengan orang-orang. Begitu ia dikenal. Namun kini ia berubah. Semua itu telah hilang. Berubah 180 derajat.
Walau kabar ini cukup menggemparkan orang sekampung. Aku tidak percaya. Mungkin saja itu ada penyakit kejiwaan yang dialaminya. Stress. Atau sudah gila.
“Kau selalu begitu. Kau pandai ilmu agama. Dalam ilmu itu kau pasti belajar tentang jin, setan. Mungkin itu ulah jin atau ulah setan. Susah aku ngomong sama kau. Itu lah sebabnya kalau kau tak lihat sendiri. Coba lah kau lihat langsung. Tidak mendengar cerita dari mulut ke mulut.”
Kalau dipikir-pikir, Emak ada benarnya juga. Namun apa betul begitu. Gumamku dalam hati. Angin senja menyapa rambutku. Mengubah sibaknya sedikit. Malamnya aku menuju ke rumah Sabri. Jalan lengang. Tiada dengar suara orang-orang. Aku ingin melihat langsung.
Menjelang sampai di depan rumahnya. Darahku mendesir. Jantungku berdegup kencang. Di sana aku lihat Sabri berjalan lurus ke depan. Tanpa mendongak. Tanpa menoleh ke kiri. Ke kanan. Seorang perempuan tua terseret-seret karena menahan tangannya. Mungkin itu ibunya.
‘Tolong nak, tolong Amak nak. Tolong tahan langkah anak Amak ini nak. Tolong!”
Rasa raguku perlahan mulai hilang. Aku serta menari tangan Sabri. Tapi tubuh tinggi kurus pucat pasi itu tiada tertahan sedikit pun. Ia tetap saja melangkah dalam diam, mata lurus menatap ke depan. Tanpa menunduk. Tanpa mendongak. Sepertinya aku sudah mengerahkan seluruh kekuatanku. Singlet dan bajuku basah oleh keringat. Nafasku tinggal satu-satu. Tapi aku tidak sanggup. Semakin kuat aku menahan semakin terseret aku dibuatnya. Ia terus saja menyeret-nyeret kami hingga jauh. Dalam gelap malam. Mungkin ke ujung jalan. Anehnya lagi. Tidak ada seorang pun orang-orang di jalanan. Sunyi senyap seperti kampung mati tak berpenghuni.
Ujung jalan. Aku cepat tersintak sadar. Aku teringat pesan Emak, itu adalah jalan larangan. Aku tidak boleh terseret ke sana. Aku lepaskan tanganya. Sementara perempuan tua itu tetap menahan langkah Sabri.  Berjalan terus ke ujung jalan. Angin malam bertiup. Suara burung hantu di atas ranting pohon membuatku menjadi semakin takut. Di sana, perempuan tua bersama seorang anaknya menghilang di ujung jalan bersama kegelapan malam.

Padang, 26 Februari 2011
Embun Penyejuk Hati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar