Senin, 20 Februari 2012

Cerpen

PEREMPUAN HUJAN
Cerpen Zahirin al-Ama

            Jika terdengar olehnya  bunyi hujan lebat mengguyur atap. Bunyi suara petir serta kilat yang menyambar-nyambar di langit. Dibarengi suara desau angin yang menderu kencang menerpa ranting dan dedaunan pohon-pohon. Yang merontokkan lalu menerbangkannya. Bahkan tak ayal ranting-rantingnya sekalipun. Patah. Terkadang menimpa atap rumah. Terkadang jatuh menimpa jalan. Terkadang jatuh di tempat yang entah. Dan disaat seperti itulah seorang perempuan membuka pintu depan rumahnya. Perempuan itu, rambut panjangnya yang  sepinggul dibiarkannya tergerai dihempas-hempas oleh angin. Ia juga membiarkan pakaiannya bergelombang-gelombang. Angin-angin itu kencang menerobos masuk ke celah pintu.
Ia keluar ketika semua orang-orang menutup rapat-rapat pintu serta jendela rumah-rumah mereka. Atau ketika anak-anak berlari ketakutan ke pangkuan ayah atau ibunya. Juga ketika semua orang berdiam hening apabila petir menyambar dengan suara sangat keras. Mereka menjadi terperanjat sembari menutup telinga. Mungkin kaget. Mungkin takut bunyi keras guntur yang menggelegar itu. Atau Mungkin takut gendang telinga mereka menjadi pecah. Entahlah.
Zubaidah, perempuan tua yang merupakan emaknya itu berusaha menahan-nahan langkah kakinya agar ia tidak pergi keluar. Tidak hanya sekali dua kali. Tapi sudah berulang kali ia lakukan hal serupa. Dan pada kali ini, emak melangkah tertatih-tatih melawan penyakit tuanya. Ia berusaha menggapai Hana di muka pintu. Ia berjalan dibantu dengan sebatang tongkat. Itu pun harus membungkuk-bungkuk menahan sakit pinggang. Juga menahan kaki yang terkena penyakit rematik. Sampai di dekat pintu, tingkuluk emak bergelombang-gelombang diterpa angin. Nyaris lepas dari kepala kalau saja ia tidak segera memegangnya.
 Kali ini emak kalah cepat. Emak tidak bisa menggapai dan menahan Hana. Perempuan itu berjalan setengah berlari menerobos hujan. Ia berjalan dengan mata lurus menatap ke depan. Tanpa bicara. Sesekali menunduk. Sesekali mendongak. Dan emak Zubaidah sudah berada di luar. Di depan teras rumah emak basah kuyup diguyur  hujan yang bertambah lebat dan semakin lebat. Matanya yang kabur dibukanya lebar-lebar ke arah Hana pergi. Namun yang nampak hanya jatuhan air hujan. Mata itu diusap-usapnya. Ketika ia kembali membukanya. Ia tak kunjung jua menemukan Hana.
Sebelum kejadian itu, emak tahu persis. Hana adalah orang yang paling takut dengan hujan berpetir. Hujan berangin. Ia juga takut dengan kilat yang menyambar-nyambar cepat di langit. Sejak dari kecil hingga menginjak usia perkawinannya. Jangankan kesemua itu. Apabila ia melihat langit mendung saja. Dan ketika itu ia berada di luar rumah, atau berada di tempat lain yang entah. Maka ia akan berlari-lari sekencang-kencangnya pulang. Lalu tanpa disuruh, ia akan menutup pintu dan jendela rumah rapat-rapat. Kemudian mengambil selimut. Mengambil bantal. Setelah itu ia segera mendekati emak sembari menutup telinga dengan bantal. Menutup badannya dengan selimut.
*          *          *
Kejadian dua tahun lalu sungguh pilu, sungguh pun emak tidak tahu persis apa yang terjadi antara Hana dan suaminya itu. Namun yang ia dengar dan saksikan sendiri dari ruang tengah, ketika ia tengah menyulam tenun saat itu. Dari dalam kamar itu suaminya terdengar seperti membentak-bentak. Bentakan dengan kata-kata yang ia kurang jelas ditangkap. Juga susah dipahami. Sementara Hana menangis-nangis saja. Memohon-mohon. Meminta maaf dan ampun. Emak menjadi tiada tega. Namun ia berharap serta berdo’a mudah-mudahan saja masalah mereka dapat selesai dengan baik.
Namun kenyataan berkehendak lain. Suami Hana malah membuka pintu dengan keras. Pintu yang terbuat dari kayu itu terbanting ke dinding belakangnya. Emak terperanjat. Darah berdesir-desir. Ia melihat suami Hana dengan paksa melangkah sambil menyandang tas di punggung. Sementara hana dengan tangis menyayat pilu berusaha menahan-nahan langkah suaminya. Ia memegang erat kedua kakinya. Hana terseret-seret hingga ruang tengah. Dan emak menjadi tiada tega. Pikirannya sudah tak tenang lagi. Ia khawatir, sungguh sangat khawatir kalau-kalau suaminya telah menjatuhkan talak.
Memang benar. Mereka telah bercerai saat itu juga. Dan suaminya itu mampu juga melepaskan kakinya setelah mengancam akan memukulnya. Kemudian ia berjalan keluar bersamaan dengan datangnya hujan, petir serta kilat yang menyambar-nyambar. Ia belari menerobos hujan. Hana datang mengejar. Namun orang yang hendak dikejar telah hilang ditelan hujan. Hujan yang semakin lebat dan bertambah lebat. Ia berusaha mengejar dan terus mengejar. Namun semakin dikejar semakin ia merasa hilang.
Malam selepas Isya hujan reda. Hana kembali pulang dengan basah kuyup. Emak yang saat itu baru saja usai melaksanakan sholat langsung datang menghampiri Hana. Ia merangkul erat tubuh kuyup dan dingin itu. Baginya kembalinya Hana ke rumah sama artinya kembalinya sesuatu benda yang paling berharga yang dimiliki. Ia mengucap-ucap syukur dalam hati. Ia terus mendekap tubuh malang itu. Lama sekali. Tak terasa air matanya menetes jatuh di pipi.

Embun Penyejuk Hati
Padang, 31 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar