NEGERI PARA ORANG KAYA
Cerpen Zahirin al-Ama
Walau tiada hujan atau rinai turun. Tapi hawa malam itu terasa dingin merasuk sunsum. Karena dari sepanjang pagi-sore hawa basah. Bahkan gelap menjelang pun mentari tiada menampakkan diri. Mentari yang selalu muncul dari bukit kota dan menghilang di samudra Fasifik itu terhalang mendung. Terhalang udara berkabut. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Berbulan-bulan. Entah sampai berapa lama berakhirnya. Memang demikian keadaan cuaca akhir-akhir ini. Dalam suasana sedemikian rupa Fajri tampak seolah-olah tidak merasa dingin. Padahal dia hanya mengenakan baju oblong tipis. Celana pendek. Serta sarung yang dililitnya di leher.
Fajri sangat jengkel. Geram pada saat ini. Kemarahan tadi siang ingin meledak-ledak saja. Namun tertahan di dalam dada. Dia mengingat-ingat kembali tentang seorang pedagang asongan kurang ajar di atas buskota itu. Betapa tidak, gara-gara pedagang asongan itu menyodor paksa minuman Frutang, Minuman Okky Jelly Drink, rokok, permen atau segala jenisnya. Dan Fajri menolak. Dia memberikan kembali minuman yang sudah di pahanya itu pada pedagang asongan itu. Selanjutnya terjadilah dorong mendorong minuman itu antara dia dan pemilik dagangan itu. Pedagang asongan itu mengotot memaksa agar dibeli. Sementara Fajri sebaliknya. Menolak. Pedagang asongan itu rupanya belum menyerah. Dan entah kenapa akhirnya minuman itu pecah. Airnya menciprat. Maka basahlah sebagian baju dan celana Fajri. Pedangan asongan itu menuntut rugi. Mata pedagang asongan itu melotot tajam. Fajri ciut. Walau baju dan celana sudah basah. Dia tidak ingin mencari masalah. Tidak ingin melawan. Tidak ingin berurusan panjang. Boleh jadi di luar sana mungkin pedagang asongan itu punya teman banyak. Maka dia putuskan mengalah saja. Dia membayar harga minuman itu dengan hati dongkol.
Pun ketika dia singgah berhenti. Giliran membayar ongkos pada stokar. Dompetnya raib. Raib dalam buskota mungkin. Dan dia tidak punya uang sepeser pun.. Pasalnya dia ingat betul sebelum naik buskota ini dompetnya masih ada. Masih utuh. Dan uang di saku tadi adalah uang terakhir sebagai ganti rugi minuman Frutang pedagang asongan itu. Kalang kabut Pikirannya kala itu. Maka tak ayal carut marut pun meluncur dari mulut stokar. Sumpah serapah. Dan segala apapun kata-kata caci dan hina ditumpahkannya. Termasuk satu yang dia ingat. Kalau miskin tak punya uang jangan naik bus, jalan kaki tu sana !
Dia mengutuki nasibnya. Kalau saja dia jadi orang kaya. Maka dia tidak perlu lagi naik buskota. Tidak lagi berurusan sama pedagang asongan kurang ajar itu. Sama stokar gila yang tak tahu adab sopan santun itu. Juga tidak perlu lagi berjejal-jejal. Bersempit-sempit. Karena orang kaya bisa kemana-mana dengan mobil pribadi. Makan pun bisa pergi ke tempat restoran mahal. Tidak seperti sekarang. Makan pangsit murahan yang selalu lewat depan rumahnya setiap sore itu. Sudahlah kotor. Kurang enak lagi. Atau makan pical etek Minah tetangga sebelah rumahnya yang juga tidak enak itu. Caci Fajri dalam hati.
Fajri masih duduk mencangkung di depan teras. Di rumah peninggalan almarhum kedua orang tuanya. Emak meninggal beberapa bulan lalu. Bapak meninggal sewaktu ia masih kelas dua SD. Dia mengingat-ingat kejadian itu
Mengenai emak. Dia mendapat keterangan dari dokter waktu itu bahwa emak menderita penyakit liver. Liver yang diderita emak itu sudah sangat parah. Diobati pun sudah terlambat. Sehingga sulit harapan sembuh. Kalau pun ada namun sangat tipis. Emakmu terlalu letih bekerja, kata dokter itu. Semestinya tidak kau biarkan. Kau larang dulu. Kalau badannya kurang sehat anjurkan istirahat. Sampai keadaannya pulih lagi.
Fajri yang mendengar matanya menjadi berkaca-kaca. Ia mengakui apa yang diucapkan dokter itu. Dokter itu benar. Memang emak adalah seorang pekerja keras. Tangguh. Ulet. Dia adalah tulang punggung keluarga semenjak bapak tiada. Dia adalah seorang emak yang merangkap seorang bapak. Mencari hidup. Mencari makan.
Emak bekerja sebagai tukang pemecah batu. Dari situlah emak mengasapi dapur.Menyekolahkan Fajri hingga tamat kuliah. Sesekali waktu libur Fajri turut serta membantu. Tetapi hanya sekedar saja. Hingga ketika Fajri sudah bekerja sebagai seorang guru honor di beberapa SMP Negeri. Fajri sudah melarang emak bekerja. Cukuplah dia yang bekerja. Gaji yang didapatnya dari bekerja sebagai guru itu cukup untuk makan. kalau pun emak ngotot ingin bekerja. mencari penghasilan. Emakkan bisa menjual goreng. Menjual bakwan. Menjual kerupuk di depan rumah, begitu ungkapnya suatu waktu. Fajri berkata demikian agar emak tetap di rumah saja. Tidak lagi mencari batu. Menjunjung batu. Memecah batu. Namun emak menolak. Sudah kau jangan cemaskan emak. Tabung saja uangmu. Simpan sampai banyak. Katanya kau mau melanjutkan kuliah. Kalau emak tidak bekerja bagaimana kau bisa menabung. kalau emak pakai uang gaji kau yang hanya seberapa itu apalagi. Tambah tidak cukup.
Setiap pagi ketika emak masih hidup, dia selalu pergi ke banda mengambil batu. Ibu berjalan menuruni tebing setengah curam. Menyandang sehelai kain sarong usang di bahu. Kain itu akan dilipat-lipat bulat lalu ditaroh di kepala. Dan ibu akan mengangkatkan sebuah batu dua kali lipat besar kepala di atasnya. Ibu naik tebing lagi. Mengumpulkan batu di tepi jalan kampung dekat banda itu. Lalu ibu menuruni tebing lagi. Mengambil batu. Naik lagi. Dan begitu seterusnya berulang. Sampai batu-batu besar itu dirasa banyak menumpuk. Barulah dia berhenti turun tebing naik tebing. Selanjutnya batu itu pun dia pecah-pecah dengan martil besi. Kalau batu itu masih berbentuk utuh agak besar. Emak akan mengayunkan martil sambil berdiri. Dengan gaya khasnya. Kaki kiri di depan membentuk kuda-kuda. Kaki satu lagi tegap miring ke belakang. Sebaliknya kalau batu itu kecil-kecil. Atau batu besar yang sudah pecah-pecah. Emak akan mengayunkan martil sambil duduk di atas batu yang menumpuk itu. Sampai siang emak akan berhenti memecah batu-batu itu. Emak istirahat sejenak untuk sholat Zhuhur. Menyiapkan makan siang untuknya. Dan untuk Fajri sepulang mengajar. Sorenya kerja lagi.
Sampai larut Fajri mengenang emak. Mengenang betapa malang nasibnya. Betapa nasib mujur tidak berpihak padanya. Hidup miskin. Diremehkan orang-orang. Direndahkan. Kadang tidak habis terpikir olehnya. Mengapa Tuhan menciptakan makhluk ada yang miskin seperti dirinya. Dan berkata-kata dalam hatinya. Tuhan itu tidak adil. Tidak penyayang kepada hamba-Nya. Kalau saja dia memberikan seluruh manusia kekayaan. Harta benda melimpah. Emas. Intan. Berlian. Tentu tidak akan ada yang mengeluh. Tidak ada yang menderita. Sedih. Duka. Nyatanya yang ada banyak pengamen, pengemis, anak jalanan, pencopet, penodong, perampok,pencuri, perampok.
* * *
Pada suatu waktu. Sesuatu yang ajaib terjadi. Kota tempat tinggal Fajri dihujani ratusan, ribuan, bahkan jutaan uang. Uang itu tumpah ruah dari langit. Memenuhi seantero jagad atas kota . Uang-uang itu jatuh di jalan. Di atas atap. Di taman. Di selokan dan di mana saja dalam kota . Melihat kejadian aneh dan langka itu, Orang-orang berhamburan keluar rumah berebut uang. Orang-orang berbondong-bondong meraup uang-uang yang telah jatuh itu. Ibu-ibu. Bapak-bapak. Anak-anak sekolah. Guru-guru. Pejabat walikota. Pengamen. Pengemis. Pemulung. Para pengendara motor dan mobil mendadak berhenti. Mereka keluar. Meninggalkan mobil dan motor di seluruh seantero jalan kota . Kendaraan berhenti total. Jadilah kota itu riuh. Riuh memperebutkan uang.
Kejadian itu berlangsung selama setengah jam. Seolah tidak ingin ketinggalan. Para ibu-ibu mengambil karung-karung di rumah mereka. Mengisi uang-uang itu ke dalam karung-karung itu. Setelah penuh mereka akan membopong masuk karung itu ke dalam rumah. Kemudian kembali lagi keluar. Mengisi penuh uang. Dan masuk rumah setelah penuh. Demikian halnya yang lain. Ada yang membawa kardus. Ada yang membawa kain sarung. Dimasukkan dan kain itu digulung-gulung bagian atasnya. Tapi ada juga yang memasukkan ke dalam baju dan saku. Demikian juga halnya dengan Fajri. Dia turut membawa berkarung-karung uang.
Malam itu dia menghitung-hitung jumlah uang itu sampai larut. Fajri menghitungnya sambil terkantuk-kantuk. Jumlah uang bervariasi. Dia mengumpulkan dengan jumlah nilai mata uang yang sama. Dan ternyata benar saja, akhirnya dia sudah pulas pada setengah karung pertama. Padahal masih ada tiga karung lagi menunggu.
Seperti biasa pagi itu Fajri berangkat kuliah. Dia menunggu bus kota di depan rumahnya. Dengan berpakaian rapi. serta dengan sebuah tas sandang yang diisinya berjuta-juta uang di dalamnya. Sengaja. Sepulang kuliah nanti dia berencana hendak membeli handphone paling mahal. Membeli mobil mengkilat. Makan di restoran termahal.
Namun pagi itu jalan lengang. Bus kota tidak tampak menambang. Angkot pun tidak kelihatan. Taksi pun sama. Tidak menambang. Yang ada hanya mobil pribadi saja. Pemandangan yang aneh pikirnya. Mungkin saja bus kota itu sedang mengisi penumpang di tengah jalan. Dia mengira-ngira. Atau mengisi bensin di SPBU. Dia mencoba bersabar. Sesekali dia duduk mencangkung menunggu. Sesekali berdiri gelisah. Namun hari ini sungguh hari yang aneh. Hampir satu jam dia berdiri menunggu tapi bus kota itu tetap tidak muncul-muncul. Dengan berat langkah. Terpaksa dia berjalan menuju kampusnya yang berjarak lima kilometer itu. Dia tidak habis pikir, kenapa pada hari ini begitu aneh.. Sesampainya di kampus alangkah terkejutnya, kampus tempat dia kuliah sepi. Tiada nampak satu orang pun. Lemah lunglai badan Fajri. Namun dia paksakan juga pulang. Jalan kaki lagi. karena jauh berjalan. Dia ngos-ngosan.
Fajri merasa haus setelah jalan kaki. Dia berdiri di depan pintu. Mengharap ada tukang cendol lewat. Es krim. Es Gogo atau apa saja yang penting bisa menghilangkan dahaganya. Belum hilang penasaran pagi tadi. Kali ini dia dihadapi dengan tidak lewatnya tukang cendol, es krim, es gogo. Dia sudah lama menunggu. Dan setelah yakin bahwa kesemua itu tidak akan muncul-muncul lagi. Maka dia masuk ke dalam. Mencari air di ruang tengah. Sebuah teko yang terletak di atas meja itu diraihnya. Namun terasa ringan. Tidak ada air. Lalu dia berjalan ke dapur. Mencari sisa-sisa air masak. Maka dia putuskan memasak air di kompor saja. Walaupun agak sabar menunggu hingga mendidih tidaklah apa-apa. Namun apes, minyak tanah habis. Hendak membeli namun tidak ada satu pun penjual minyak tanah keliling lewat. Terpaksalah pada hari itu dia minum air kran.
Pun ketika hendak makan. Dia berjalan mencari restoran. Dia melakukan ini lantaran karena tidak ada angkot atau bus kota yang bisa dia tumpangi. Beberapa jauh dia berjalan, sampailah dia pada sebuah restoran ukuran menengah bertuliskan “Sederhana” tutup. kafe-kafe juga tutup. tempat penjual pical dan lontong pun demikian halnya. Tidak ada satu pun yang buka. Semakin jauh Fajri berjalan. Semakin dia dibuat bingung tidak mengerti. Semakin banyak dia temukan toko-toko, kedai-kedai, dan warung-warung tutup. perutnya lapar tercabik-cabik. Kerongkongan haus. Tidak ada satu pun yang bisa dimakan. Dia merasa sangat tersiksa dengan kekayaan. Dia ingin seperti dulu lagi.
“Hei pak de, kebetulan bertemu ni. Tidak jual pangsit hari ini?” Tanya Fajri dengan sedikit ulas senyum.
“Buat apa jual pangsit?!” Jawab Pak De itu sambil menunjukkan uang bergepok-gepok dari dalam sakunya. Lalu dia pergi dari sana .
Pada jalan yang lain pula. “Hei Bi Minah, mau kemana? Tidak jual lontong lagi? Aku lapar ni, tolong…, aku sangat lapar.” Pinta Fajri memohon-mohon.
Bi Minah mencibir sembari memalingkan muka, “Enak saja kau, bilang aku penjual lontong. Kalau mau uang, ini. Ambil!” Bi Minah melempar uang ke muka Fajri dan berseraklah uang-uang itu.
“Tidak bi, aku tidak butuh uang, yang aku butuh lontong. Hanya lontong.”
Bi Minah berlalu tidak acuh. Setelah bi Minah. Lalu Udin si penjual minyak tanah. Fajri pun sama. Memohon-mohon agar Udin mau menjualkan minyak tanah untuknya. Berapa pun akan dibayar. Satu juta. Dua juta atau sepuluh juta. Namun seperti Pak De dan Bi Minah, Udin pun menjawab hampir sama. Tidak ingin bekerja menjual minyak tanah itu lagi. Uang banyak. Harta banyak. Sudah beberapa orang yang Fajri temui. Semuanya menjawab sama. Malas bekerja itu-itu saja. Ingin beralih profesi ke tingkat yang berlevel tinggi. Karena uang-uang itu semua penduduk kota itu masyarakat berubah total.
Dalam lesu Fajri berjalan pulang. Langkahnya gontai. Perut kosong tidak terisi. Uang dalam saku berceceran sepanjang jalan. Dia biarkan saja. Cuek. Fajri merasa sangat menderita. Rupanya kalau semua orang kaya tidak seperti yang dia bayangkan. Dia ingin kembali ke kehidupan semula. Kehidupan sebelum masyarakat kota sekarang. Baru dua hari dia merasakan hidup kaya. Selama itu pula dia merasa menderita. Pandangan matanya berkunang-kunang. Sesekali kabur. Dan dia tidak menyangka sama sekali kalau ada lobang got besar di depannya. Dan bug…!
Fajri terjatuh dari tempat tidur. Dia mengusap-usap mukanya seolah-olah dia tidak percaya bahwa yang terjadi barusan adalah mimpi. Sesekali dia tampar pipi kanan-pipi kirinya. Memastikan apakah dia masih mimpi. Atau memang sudah di alam nyata. Tergesa-gesa dia menuju dapur. Diambilnya teko lalu diisi air ke dalam gelas dan diminum. “Alhamdulillah…, Alhamdulillah…, Alhamdulillah…!” berkali-kali dia mengulang kata-kata syukur itu.
Menjelang berangkat kuliah. Dia singgah terlebih dahulu di kedai lontong bu Minah. Sambil makan dia melihat lalu-lalang kendaraan di jalan. Tak lama setelah itu bus kota sudah berhenti untuknya. Dia masuk ke dalam bus kota dengan senyum. Orang-orang yang sempat melihatnya menjadi terheran-heran.
Embun Penyejuk Hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar