Senin, 20 Februari 2012

Sarman Mencari Jodoh

SARMAN MENCARI JODOH
Cerpen Zahirin al-Ama

            Sarman. Umur 47 tahun. Diusia yang hampir  setengah abad itu ia belum juga kawin. Belum juga beristri. Sementara emak terus mendesak. Katanya ia ingin melihat Sarman, anak satu-satunya itu menikah sebelum ia meninggalkan dunia fana ini. Sebelum ia pergi buat selama-lamanya. Ia pun sangat ingin menggendong cucu. Anak dari Sarman dan istrinya nanti. Tapi mengenai siapa perempuan yang akan menjadi calon istri Sarman itu. Dan siapa adanya bakal menantu emak itu.  Sampai saat ini belum bisa ia tunjukkan.
            “Kau tidak usah pemilih menentukan istri.”  Kata emak suatu ketika. “Pokoknya kau harus segera kawin. Untuk itu harus ada perempuan yang bersedia menjadi istri kau itu. Tidak usahlah kaya. Juga tidak harus cantik-cantik segala. Karena kau harus tau diri. Harus bercermin. Siapalah kita ini adanya. Siapa kau sesungguhnya. Kaya? Gagah? Kan tidak. Makanya cari yang biasa-biasa saja. Yang sedang-sedang itu cukup. Seperti keadaan kita ini.” Lanjut emak.
Ia belum bisa memenuhi permintaan emak satu-satunya itu. Entah apa yang salah. Sehingga ia belum juga kawin. Padahal teman-teman sebayanya telah memiliki tiga bahkan empat orang anak. Jangankan emak. Teman-temannya pun heran. Mereka tidak habis pikir. Sarman yang umurnya hampir setengah abad itu belum juga kawin. Padahal ia sering kumpul-kumpul bersama para anak-anak bujang kampung dihampir setiap minggu. Tentu saja umur anak-anak bujang itu terpaut sangat jauh dengan umurnya. Di sana tidak ada satu pun teman-teman seusianya. Teman-teman seangkatannya sekolah dulu. Karena mereka semua telah kawin. Mereka sudah punya urusan keluarga. Kumpul bersama istri dan anak-anak mereka di rumah masing-masing. Tidak lagi dibalai pemuda, tidak lagi di bawah pohon rambutan dekat lapangan voli itu. Tidak lagi berboncengan motor pada malam Minggu pergi baralek. Pergi ke pantai. Pergi ke jembatan Siti Nurbaya atau pergi entah kemana saja sewaktu mereka muda dulu. Walau demikian halnya Namun dengan anak-anak bujang yang sekarang ini ia bisa akrab, bersahabat. Walaupun usia rata-rata anak-anak bujang itu terpaut jauh di bawahnya. Ketika ia pertama kali membujang anak-anak bujang yang sekarang ini pada waktu itu masih SD.
“Sarman belum kawin mungkin saja belum mendapat jodoh.” Kata Sani suatu ketika di lepau. Di atas balai panjang ia membuka obrolan bersama para bapak-bapak yang duduk-duduk di situ. “Mungkin juga belum ada perempuan yang cocok di hatinya. Sarman itukan orangnya pemilih. Ia ingin perempuan yang dicarinya harus sempurna, cantik, ideal, kaya dan sebagainya.” Lanjut Sani.
“Tapi apa pula urusannya dengan semua itu. Sedangkan dirinya sendiri tidaklah ganteng dan menarik.” Menyela Bapak Feri yang duduk paling ujung di atas balai panjang itu. Bapak itu tiada lain adalah teman seangkatan Sarman waktu sekolah di SD dulu. Satu kelas. Satu bangku. Ia sangat tahu siapa Sarman. Sebagai teman ia paham betul sifat yang dimilikinya.
“Tapi ia memang pemilih, sungguh sangat aneh, usia hampir senja begitu masih juga memilih.” Ujar Bapak Feri menuturkan.
“Memilih bidadari mungkin pak Fer.” Kata Sani setengah tertawa.
“Iya, menunggu bidadari yang tak turun-turun dari kayangan.”
Ha…, ha…, ha….! Mereka yang ada di sana  tertawa bersama. 
“Saya tahu Sarman itu siapa.” Bapak Feri melanjutkan. Ganteng tidak, Kaya tidak, ia bukan orang berada. Bukan pula keturunan pejabat. Melainkan ia hanya seorang tukang rumah. Bayangkan saja berapalah penghasilan seorang tukang rumah. Cukup untuk makan saja itu sudah mending. Ditambah lagi, pekerjaan seorang tukang itu tidak tetap. Kalau ada orang yang hendak membuat rumah, maka tukang dapatlah pekerjaan. Dan Sarman itu bisa kerja. Dapat penghasilan. Namun kalau tidak ada orang membuat rumah. Atau walau ada tapi tidak ada orang memintanya serta menjadi tukang rumah itu. Maka tidak ada penghasilan. Tidak ada pemasukan.” Ujar bapak itu melanjutkan.
Entah percaya entah tidak. Ia sering bercerita tentang banyak perempuan yang memintanya menjadi suami mereka. Dalam sebulan saja ada tiga orang yang mendatangi rumahnya. Masing-masing mereka datang bersama orang tua buat melamar Sarman. Mereka berasal dari dalam kota Padang. Ada juga yang dari daerah berbeda. Seperti Solok, Painan, Sijunjung, Bukittinggi dan banyak lagi yang tidak bisa ia sebutkan satu persatu. Mereka datang meminta Sarman untuk menjadi suami anak-anak perempuan mereka. Namun semuanya ditolak. Alasannya tidak cocok.
*          *          *
            Malam itu emak memanggil Sarman. Dengan wajah yang berseri-seri emak berujar, “Sarman apa kau kenal dengan Upik Zahra?”
            “Upik Zahra,” Sarman menengadah ke langit-langit di ruang tengah rumah. memikir-mikir mungkin. “Iya, iya aku kenal, anak Ayuk Sarbaini itu kan?! Ada apa pula janda beranak satu itu?”
            “Iya, betul anak Sarbaini.” Emak membenarkan.
            “Terus?!” Sarman penasaran.
            Emak membetulkan tempat duduknya di atas kursi kayu usang itu. Lalu bercerita. “Senja tadi emak Upik Zahra tu datang ke sini. Katanya hendak menawari engkau apakah bersedia menjadi suami anaknya? Lalu emak menjawab, tunggu Sarman pulang kerja dulu baru aku tanya. Apakah ia bersedia atau tidak. Begitu jawab emak.” Emak mengakhiri bicara. Ia menunggu reaksi dari Sarman. Ia sangat berharap kali ini Sarman tidak menolak lagi seperti sudah-sudah. Emak sudah tidak tahan lagi menunggu Sarman beristri. Emak tidak akan tenang sebelum Sarman kawin. mempunyai anak dan hidup bahagia.
            “Tidak mungkin emak. Tidak mungkin aku menikah sama janda. Bujang itu harusnya kawin dengan perawan. Bukan janda. Sudah mempunyai anak lagi. Susah aku memberinya makan nanti.” Jawab Sarman tegas. Jelas.
            Emak terperanjat kaget mendengar jawaban yang tak layak diucapkannya itu. “Dulu ada beberapa induk gadis melamarmu, berharap kau mau terima anak mereka kau jadikan istri. Tapi kau tolak juga. Tidak kau terima tawaran mereka. Entah apa yang ada di benakmu itu. Seharusnya kau bersyukur ada orang datang meminang. Apalagi yang kau tunggu, menunggu emak ini pergi dari alam fana ini? Lalu kau senang. Apa sebenarnya alasanmu hah?!” Emak berkata ketus.
            “Aku tidak akan menikah, kalau bukan dengan Widya.” Sarman menyebut nama salah seorang gadis. Seorang gadis yang menjadi primadona di kampungnya saat ini. Mempunyai pekerjaan tetap. Anak seorang berada lagi.
            Emak mengelus dada. Lalu berujar, “mana mungkin Sarman, mana mungkin. Ibarat langit dengan bumi. Dia langit dan kau buminya. Tak akan ketemu. Tak akan berjodoh.”
            “Mungkin saja,” jawab Sarman dengan keras kepala. “Pokoknya aku tidak akan mengkhianati dia. Aku tidak….”
            Belum sampai Sarman bicara emak sudah menyela. “Memangnya kau berpacaran dengannya?” Tanya emak penasaran. “Sejak kapan pula kau pacaran dengannya? Kok emak tidak tahu. Kok tidak pernah nampak oleh emak. Bahkan orang-orang pun tidak ada yang memberi kabar tentang kau dengan Widya itu. Emak pun tahu kalau kau itu tidak pernah punya pacar.” Kata emak gusar.
            Sarman berdiri. “Ah emak, untuk apa juga diberitahu sama emak. Kan belum saatnya. Pokoknya aku tidak akan menikah kalau tidak dengan Widya, titik.” Usai berujar demikian rupa Sarman berlalu pergi. Pergi ke balai pemuda. Meninggalkan emak yang melongo sendiri sambil mengurut-ngurut dada. Sesak ia jadinya. Setelah di luar rumah Sarman terus berjalan jengkel menuju balai pemuda. Di sana ia berkumpul dengan anak-anak bujang yang tengah bermain domino, kartu dan sebagainya. Dan ia mengambil sebatang rokok dari dalam saku bajunya. Ia menghidupkan mancis, menyulutkan api di ujung batang rokoknya. Asap mengepul di udara.
            Mengenai Widya. Gadis primadona kampungnya itu, pernah bercanda. Pernah iseng pada Sarman suatu ketika. Widya mengatakan bahwa ia mencintai Sarman. Sarman merasa sangat tersanjung saat itu. Hidungnya kembang. Hatinya berbunga-bunga. Sarman orangnya memang suka disanjung. Para pemuda tahu persis itu. Mereka yang mendengar canda Widya itu dimamfaatkan mereka untuk memuji-mujinya. Menganggapnya hebat. Mengucap-ucap selamat karena widya memilihnya. Ada yang menyalami. Ada yang hanya sekedar ucapan saja. Sarman tambah senang. Ia seperti terbang ke langit ke tujuh.
Kejadian itu setahun lalu, tepatnya dimalam tahun baru. Di depan rumah Widya. Bersama dengan beberapa orang temannya, bersama beberapa orang pemuda kampung yang kumpul-kumpul bersama membakar jagung. Bergitar-gitar ria. Menyanyi-nyanyi. Meniup-niup terompet.
            Rupanya canda Widya itu ditanggapi serius. Pada hari yang lain dimalam Minggu ia datang mengunjungi rumah Widya. Awalnya Widya tidak kaget. Karena sebelum-sebelumnya ia juga pernah datang ke rumah buat mengobrol bersama ayahnya. Oleh sebab itu ketika ia membuka pintu Widya langsung memanggil ayahnya. Dada Sarman berdegup kencang. Sebab ia ke sini bukan untuk bertemu ayahnya melain bertemu dengan Widya. Tapi Widya keburu memanggil ayahnya. Setelah ayahnya datang Widya menghilang ke dalam kamar. Jadilah malam itu ia mengobrol bersama ayah Widya. Dalam gelisah Sarman mencoba bertahan beberapa jam. Maklumlah ayah Widya itu orangnya suka mengobrol panjang. Mau tidak mau Sarman paksakan juga mengobrol. Seputar kerja. Seputar hidup hingga larut.
            Selanjutnya ia sering datang. Maksudnya hendak mengobrol dengan Widya. Tentu saja Ibu widya kaget. Ayah kaget tidak percaya. Widya pun amit-amit. Sejak saat itu pula Widya sering menghindar apabila Sarman datang. Sarman yang dianggapnya bujang lapuk itu.
*          *          *
            Ketika makan bersama emak malam itu, Sarman mengajukan permintaan sama emak. Ia meminta agar emak mau melamar Widya untuknya. Ia tidak tahan lagi membujang. Ia ingin segera beristri.
            Tentu saja emak dibuatnya lebih terperanjat dari sebelum-sebelumnya. “Apa, kau bilang?! Melamar Widya. Anak orang kaya itu. Anak orang berada itu hah! Apa kau mau muka mak ini diludahinya. Apa kau tega?”
            “Aku tahu keluarga mereka itu baik-baik emak. Cobalah emak. Mohon. Apa mak tega melihat anak emak ini membujang sampai mati.”
            Emak menggeram. Kali ini ia berkata dengan nada yang lebih tinggi. “Sudah mak katakan, sekali tidak tetap tidak.”
            “Emak payah,” Sarman  beranjak dari duduknya, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya itu.
            “Mau kemana kau, nasi belum habis kau sudah pergi.”
            Sarman berlalu tidak menjawab. Sarman manggok. Sudah menjadi sifatnya, kalau sedang manggok ia akan diam. Tidak berbicara pada orang yang membuatnya manggok. Manggoknya kadang lama. Berhari-hari.
            Beberapa bulan berlalu. Puji, adik Widya berhenti singgah di depan rumahnya. Kebetulan saat itu Sarman sedang duduk-duduk santai menghisap rokok sambil minum kopi. Demi melihat Puji ia langsung bergegas keluar rumah. menemuinya.
            Ada apa dik?” Tanya Sarman, sembari memperhatikan beberapa undangan yang dikeluarkan dari dalam tas kecil yang disandang di bahunya. Ia sering mendapati undangan baralek. Dari teman-temannya.
            “Mau mengasih undangan bang,” Puji menyerahkan undangan itu padanya.
            Setelah menerima undangan itu, Sarman masuk ke dalam rumah kembali. Di dalam ia melihat. Undangan baralek rupanya. Siapa yang baralek? dadanya berdegup kencang. Lantaran matanya agak kabur. Kurang jelas. Didekatkannya kertas undangannya itu hingga beberapa sentimeter ke matanya. perhatikannya betul. Di sana tertera tulisan: Undangan Pernikahan Widya Nengsih dengan Hari Fernando. Dadanya tambah berdegup kencang. Ia tidak percaya bahwa yang nikah itu benar-benar Widya. Anak Pak Syukri itu. Ia menganggap itu Widya yang lain. Bukan Widya kakak perempuannya Puji. Dengan dada berdebar-debar ia membuka sampul undangan itu. Ia perhatikan dengan baik-baik tulisan itu, didekatkan dengan matanya, tertera; Keluarga Syukri Arif dan Keluarga Pandito Malin. Lemahlah Sarman. Lunglai tubuhnya. Hatinya remuk. Seakan ia ingin bunuh diri saja.
            Sejak peristiwa itu, Sarman sering mengurung diri di rumah. Tiada berselera lagi ia pergi ke luar rumah. Tiada mau lagi ia bekerja. tiada lagi ia berkumpul dengan anak-anak bujang. Emak jatuh sakit melihat keadaan Sarman demikian. Berhari-hari. Berbulan-bulan. Akhirnya meninggal dunia. Dan sarman akan terus membujang sepanjang hidupnya.

Embun Penyejuk Hati
Bangko, 27 Desember 2009
1. Ayuk                  = panggilan kepada kakak kandung perempuan atau kepada orang
   perempuan lain yang lebih tua
2. Manggok          = Mengambek
3. Upik                   = Panggilan untuk anak gadis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar