Senin, 20 Februari 2012

Cerpen

PEREMPUAN SENJA ITU
Cerpen Zahirin al-Ama

            Aku memanggilnya perempuan senja. Karena aku hanya bisa menjumpainya disenja hari. Dan orang-orang di sini pun hanya bisa melihatnya pada waktu senja. Hanya pada senja hari. Ketika jingga mulai berpendar di barat. Ketika gelap perlahan menyelimuti. Maka perempuan itu akan menampakkan diri. Lalu akan hilang di ujung jalan bersama samar-samar cahaya. Jangan coba-coba berlari mengejar. Berlari-lari menghampiri. Karena engkau akan hilang lenyap seperti samar-samar cahaya itu.
Perempuan itu berjalan dalam diam. Pada senja menjelang gelap gulita itu ia lewat di depan rumahku. Seperti biasa, ia menyandang sebuah tas kecil. Berjalan melewati jalan kampung yang biasa aku lewati. Yang biasa orang-orang di sekitar sini lalu-lalang. Juga yang biasa kendaraan mobil dan motor melintas sesekali. Di jalan ini, perempuan itu berjalan semakin jauh dan jauh ke ujung jalan. Ia sendiri. Tanpa teman. Tanpa bicara. Matanya lurus menatap ke depan. Sesekali menunduk. Sesekali mendongak. Hingga ia menghilang di kejauhan.
            Kalau dilihat betul, paras perempuan itu lumayan cantik. Masih remaja. Masih muda. Cukup untuk menawan hati laki-laki yang memandang. Namun para pemuda di sini, teman-temanku itu tidak ada yang berminat menggoda. Tidak berselera. Apalagi mencari mencari perhatian. Karena perempuan itu akan terus berlalu dalam diam. Tanpa bicara. Acuh. Pernah dulu, bermacam cara pemuda di sini lakukan. Sesekali bersiul keras-keras. Sesekali menghentak-hentak kaki. Sesekali membunyikan suit, Ada yang menyapa langsung, “Hai cewek!” atau, “hai manis!” Kadang-kadang ada yang iseng. Demikianlah teman-temanku mencoba menarik perhatian perempuan itu. Namun tidak ada respon. Cuek. Yang ada ia akan berjalan terus menjauh dan menjauh. Dan aku sendiri pada waktu itu tidak berselera untuk menggoda. Tidak turut serta mencari perhatian perempuan itu. Untuk berkenalan dengannya. Untuk mengetahuinya lebih jauh lagi apalagi.
            Seperti yang sudah-sudah. Perempuan itu selalu muncul pada waktu senja.  Pada waktu mentari beranjak turun ke ufuk barat. Pada saat anak-anak ramai bermain kejar-kejaran, bermain petak umpet, bermain lompat tali, lempar gasing, kelereng dan bermain apa saja. Serta disaat para ibu-ibu sedang duduk mengobrol dengan sesama. Berbicara gosip. Berbicara tentang hidup di zaman sekarang ini. Tentang apa saja. Harga kebutuhan pokok yang terus melambung naiklah. Biaya pendidikan anak yang mahal lah. Tingginya angka pengangguranlah. Dan perempuan itu akan berjalan melintas di jalan ini. Di depan rumahku. Memang sudah menjadi sifatnya, ia akan berjalan dalam diam. Menatap lurus ke depan. Sesekali mendongak sesekali menunduk. Lalu menghilang di kejauhan.
            Perempuan itu selalu berjalan dalam diam. Jangan engkau sekali-kali mencoba menyapanya. Menegurnya. Apalagi menggodanya. Bukan karena ia akan marah lalu meradang padamu. Bukan pula ia merasa terusik ketenangannya olehmu. Apalagi berteriak-teriak ia meminta tolong orang lain lantaran ulahmu. Tapi engkau akan merasa tersinggung karena sapamu tidak dijawab. Tidak dibalas. Engkau akan merasa jengkel. Merasa geram melihatnya terus jalan dalam diam meninggalkanmu. Matanya lurus ke depan. Sesekali menunduk sesekali mendongak. Demikian rupa halnya, jangan pula engkau mencoba mengejar-ngejar. Apalagi menahan-nahan langkahnya. Karena engkau akan bosan. Engkau akan muak sendiri. Mengutuk-ngutuk dalam hati. Dan akhirnya engkau akan membiarkan ia terus berlalu dengan perasaan dongkol.
            Pada hari yang lain. Sepulang kuliah sore hari itu aku mengendarai sepeda motor. Sepeda motor yang dibelikan orang tuaku beberapa bulan lalu. Untuk keperluan kuliahku. Di jalan yang aku lalui itu aku bertemu dengan perempuan itu. Lantaran aku membawa motor lambat, maka aku bisa lihat jelas wajah perempuan itu. Perempuan itu berjalan berlawanan arah denganku. Seperti biasa, perempuan itu selalu muncul senja hari. Dan aku sering melihat kemunculannya disenja hari. Entah kenapa ia selalu muncul pada waktu sebegini. Tiada pernah aku bertemu perempuan itu dikala pagi, siang, bahkan malam sekalipun.
            Pernah suatu ketika aku sengaja menunggu kedatangan perempuan itu.  Waktu itu hari Minggu pagi di balai depan rumahku. Di atas balai panjang itu, setelah membantu ibu menyapu halaman, memotong rumput liar taman, serta membakar sampah di belakang rumah. Maka di atas balai panjang ini aku ditemani beberapa buku buat dibaca. Dan segelas susu bubuk full cream yang sudah siap saji. Aku mulai membaca. Beberapa halaman membaca aku mulai merasa bosan. Aku mengambil minum. Menyeruputnya. Mencoba membaca lagi. Bosan.  Hingga siang aku menunggu, namun perempuan itu tidak muncul. Tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Dan seperti sudah-sudah ketika senja menjelanglah perempuan itu akan muncul. Berjalan dalam diam. Menatap lurus ke depan. kadang menunduk. Kadang-kadang mendongak. Dan hilang di ujung jalan.
            Entah di mana perempuan itu pada hari pagi, siang dan malam? Aku tidak tahu. Mungkin saja ia berdiam di rumah. Di rumahnya yang terkunci rapat itu. Atau saja ia pergi ke suatu tempat yang sunyi. Tempat yang tidak ada orang ramai. Seperti gua, hutan, hulu sungai, lereng gunung atau entah apa, aku tak bisa sebutkan satu persatu. Namun buat apa pula perempuan itu pergi ke tempat angker dan menyeramkan itu. Seperti tidak ada pekerjaan lain saja. Namun begitulah keadaan perempuan itu. Tidak usah mencari-carinya karena ia akan muncul sendiri pada waktu senja. Berjalan dalam diam. Dan menghilang dalam gelap malam.
*          *          *
            Besok giliran ibu arisan di rumah. Arisan sekolah tempat ibu mengajar. Yang rutin berjalan setiap sekali sebulan. Hari ini ibu berencana hendak membeli bahan-bahannya ke pasar. Katanya ibu hendak membuat lontong. Oleh sebab itu ibu harus menyiapkan bahan-bahannya: Sayur paku, kacang panjang, cabe, beras, garam, bumbu, dan lain-lain. Maka sore itu sepulang kuliah, aku diminta mengantar ke pasar. Bahan-bahan itu harus disiapkan sebelum Magrib ini. Karena acara jam sembilan besok. Begitu kata ibu. Biar nanti malam ibu bisa membuatnya. Memasak nasi lontong. Mengiris-iris bawang, kacang panjang, sayur paku itu butuh waktu lama. Demikian lanjutnya ibu berujar.
Aku mengambil motor. Lalu menghidupkannya untuk menghangatkan mesin. Di perjalanan menuju pasar, aku bertanya perihal perempuan yang selalu muncul disenja hari itu pada ibu. Untuk apa? Ibu bertanya kembali. Heran saja, kataku. Heran atau suka? Ayo! Canda ibu. Aku tidak sedang bercanda ibu. Ibu juga tidak tahu.Ah sudahlah kamu ini ada-ada saja. Jalan rame, macet ni.
*          *          *
            Malamnya selepas Isya. Di ruang tengah ayah sedang menonton berita. Ayah pulang kerja saat Magrib tadi. Saat aku bersama ibu di masjid sholat.Di atas kursi empuk itu. Dan ditemani kopi hitam pahit serta sebungkus rokok. Ayah akan tidur hingga larut. Kadang-kadang aku ikut serta menonton. Tapi hanya sampai jam sebelas. Mataku tidak bisa diajak kompromi. Tidak bisa bergadang. Tidak seperti ayah. Walau sibuk kerja siangnya tapi ia kelihatan segar dan bugar saja Kadang-kadang ibu sesekali menonton. Menonton sinetron. Ya, ibu sangat suka menonton sinetron. Kalau bertanya tentang sinetron. Tanyalah ibu. Ibu tahu semua judul-judulnya. Ibu juga suka menonton acara Mamamia, KDI, idola cilik, Indonesian idol, superemak, mendadak dangdut dan banyak lagi acara yang tidak bisa kusebutkan satu persatu. Kalau dulu-dulu di televisi marak acara telenovela-telenovela. Drama seri dari Korea. Maka ibu akan berusaha tidak ketinggalan menonton.
Malam ini ibu sedang menyiapkan hidangan buat hajatan esok hari. Aku turut serta membantu. Sedikit-sedikit. Mengerjakan bahan-bahan pembuat lontong yang dibelikan tadi siang. Melihat bahan-bahan yang cukup banyak itu. Aku tidak tahu sedikit pun bagaimana cara membuatnya. Apa saja langkah-langkahnya membuat lontong itu, sungguh sama sekali kuketahui. Paling-paling aku hanya bisa menjerang air dalam panci, mencuci sayur paku, kacang panjang, atau sesuatu yang mudah aku kerjakan. Selebihnya dikerjakan ibu. Walau sudah sering ibu membuat lontong, tapi aku tidak pernah menyimak. Tidak pernah memperhatikan. Mungkin pekerjaan itu memang untuk perempuan pikirku. Sedangkan aku ini laki-laki. Mungkin itu sebabnya aku tidak bisa.Tidak perlu belajar tidak perlu tahu bagaimana membuat itu semua. Karena setiap kali ibu membuat lontong. Dan setiap itu pula aku anggap angin lalu.
            Sejenak aku melupakan perempuan itu. Perempuan yang selalu muncul disenja hari. Perempuan yang selalu berjalan dalam diam. Di sini, disaat ini dalam kamar aku meraih sebuah novel Wiro Sableng. Novel yang aku beli sebanyak satu lusin minggu lalu itu belum rampung semua kubaca. Aku baru membaca lima buah judul. Novel-novel itu kubelikan disebuah toko langgananku di pasarraya (toko buku grosir). Disamping harganya sangat murah, aku pun sangat menyukai novel silat karangan Bastian Tito ini. Beberapa lembar saja aku membaca aku sudah pulas. Tidak tahu lagi.
*          *          *
            Pada hari yang lain. Karena penasaran dengan perempuan itu. Aku nekat akan membuntutinya senja ini. Aku ingin tahu kemana perempuan itu pergi. Apa yang dikerjakan oleh perempuan itu di sana? Dan ketika senja itu pun datang seperti biasa perempuan itu lewat. Tidak banyak pikir lagi aku serta berjalan mengikuti. Padahal senja ini aku hanya memakai kaos oblong, celana pendek, dan sandal jepit (sandal Jepang).
            Aku berada beberapa meter di belakangnya. Saat berjalan aku perhatikan betul perempuan itu. Perempuan itu memang tidak pernah menoleh ke kanan-menoleh ke kiri, yang ia lakukan hanya menatap lurus ke depan, menunduk dan mendongak.
            Entah apa yang dipikirkan oleh perempuan itu? Yang di benaknya itu aku tidak tahu. Apakah perempuan itu sudah gila? Tidak mungkin juga, kalau ia gila, kenapa ia tahu jalan pergi-jalan pulang. Dibilang waras juga tidak mungkin. Mana ada orang waras seperti itu. Berjalan dalam diam. Tidak mengubris orang lain bertanya, menghadang, menangkap, atau apalah namanya.
            Sebentar lagi gelap datang menyelimuti. Di jalan yang kami lalui sudah cukup jauh dari rumahku, sekitar tiga kilometer. Aku merasa penat. Dan perempuan itu sepertinya tiada merasa apa yang aku rasa. Menjelang gelap malam datang, aku bahkan tidak berkedip memperhatikan perempuan itu. Aku melihat jelas tubuh perempuan itu samar-samar oleh cahaya senja. Dan menghilang dalam gelap yang datang menyelimuti. Aku terperanjat kaget, perempuan yang aku buntuti itu menghilang dalam gelap! Aku percepat langkah. Berlari mengejar. Aku tidak mendapati. Dan aku kehilangan perempuan senja. Sungguh tidak masuk akal. Padahal aku hanya berjarak beberapa meter saja darinya. Saat ini aku berada di simpang empat yang lengang. Aku bingung ke arah mana perempuan senja itu berlalu. Dan aku bertambah bingung karena tidak tahu lagi jalan pulang.

Embun Penyejuk Hati
Padang, 24 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar