Senin, 20 Februari 2012

Cerpen

LAKI-LAKI YANG HILANG DITELAN RANTAU
Cerpen ZAHIRIN

            Kalau memang rantau itu bertuah nak! Pergilah menuntut, setelah mendapat tahu, bawalah balik lagi ke dusun, kembang ilmu di sini, ajar orang-orang, buat dusun kita semarak. Emak dan bapak akan do’akan engkau nak!. Arlinda tak kuasa membendung air mata. Lalu mengembang kedua tangan. Mengisyarat hendak memeluk. Irza mendekati, emak dan anak sama-sama menangis. Meleleh-leleh rembes air mata di pipi keduanya.
            Tibalah saat hendak melepas. Seorang bujang baik budi dikenal masyarakat dusun, ia orang pandai mengaji, ia turut pula dipercaya mengajar anak-anak TPA, pintar pula berceramah. Tak lama lagi, akan hilang sesosok wujud itu, meratap para sanak saudara, karib kerabat, orang tua wali murid, serta teman-teman akrab sebaya. Lalu membawa bayang kenang-kenangannya bersama mereka ke tempat jauh. Sejauh mata memandang. Hingga hilang oleh berlapis-lapis batasan.
            Dalam sebuah angdes yang mengantar ke ibukota kabupaten. Irza melambai-lambai tangan. Semakin lama semakin mengecil kerumun mereka di pandangan. Setelahnya hilang di kejauhan. Kini. Sebuah perjalanan baru nun jauh akan ditempuh. Kanan dan kiri nan asing di mata. Wajah-wajah nan asing di pandang. Negeri-negeri nan asing di singgah.
            Perjalanan sore cukup memakan waktu mencapai Bangko. Malam telah se jam berlalu menjangkau. Orang-orang berjejalan antri di loket. Baginya tidak terlalu susah. Karena pemandangan seperti itu bukanlah pertama kalinya ia lihat. Lain hari, ia turut mengantarkan kakeknya yang hendak berobat ke ibu kota propinsi, Di loket itu juga, di masa yang lain, ia juga turut mengantarkan mamaknya yang hendak berobat juga, masih di loket ini.
            Setelah tamat MAN Irza bersikeras minta melanjutkan kuliah di Padang. Niat itu telah dikemukan sejak ia masih kelas dua. Emak dan bapak turut mengiyakan. Namun rencana itu hampir urung terlaksana. Lantaran kondisi ekonomi keluarga yang tidak memungkin untuk membekali ia selama kuliah di sana. Mereka menganjurkan agar ia bersabar, cari duit dulu selama setahun, setelah terkumpul cukup, barulah mereka melepas. Namun ia bukanlah anak yang mudah menyerah menatap keadaan. Selalu dan selalu ia tumpuk semangat orang tuanya. Hingga akhirnya mereka turut usaha. Mula-mula emak yang datang pada mak ngah Eni, maksud tujuan hendak meminjam uang, dengan menggadai mayam emas. Bersamaan itu, bapak turut pula mendatangi Pendi, seorang toke getah kampung, dengan tujuan sama. Tiada lain usaha, selain hanya meminjam pada orang-orang berada. Walaupun sempat patah semangat, akhirnya usaha pun berbuah hasil.
            Family Raya. Bus malam jurusan Bangko-Padang. Melaju pelan meninggal kota kecil itu. semakin lama semakin kencang berjalan. Bunyi derum mesin mengaum-ngaum tiada henti. Kerlip-kerlip lampu semakin jarang membias, hingga benar-benar hilang sebuah kota mungil itu. Kanan-kiri hanya kelam. Tiada bulan dan bintang menyinari. Hanya bias lampu kepala bus. Ia akan melihat dan melihat jalan lurus panjang itu. sepertinya matanya memang tak akan terpejam malam ini.
            Para penumpang lain telah menghilang suara-suaranya. Tinggallah alunan musik dari tape mengawang-ngawang mimpi. Matanya tetap jalang, mobil berjalan lamban di tanjakan, mencicit-cicit bunyi rem di penurunan. Mengelok-ngelok liukan jalan bak ular. Ia sangat senang memandang yang asing di mata. Semakin jauh malam merayap, ia saksikan pula bias-bias cahaya yang mulai menampak diri sepanjang jalan. Disaksikan kanan dan kiri, tak pernah bosan. Namun, ia tetap merasa hanyut. Negeri baru akan menanti, ia akan menyambutnya senyum berbunga-bunga. Kata orang-orang kota Padang itu indah, besar, datar dengan latar perbukitan di bagian timur, menghadap lepas ke samudra pasifik bagian barat. Ia tiada pernah melihat seperti apa. Namun di sisi lain, ia harus rela meninggalkan dusun. Tempat tumpah darahnya.
*          *          *
25 April 2003. se tahun kemudian.
            Senja mendung bergerimis. Saat beberapa meter menjelang masjid sehabis kuliah. Dua orang berboncengan menepis bahu kanannya. Ternyata ia adalah mamak Andi, seorang senior di kampus. Juga se dusun dengannya, di dusun rumah mereka hanya sejarak tiga buah rumah. Ia mengabarkan, bahwa sore ini juga harus pulang, ada kabar mendadak dan rahasia dari dusun. Mendengar itu, ia menjadi girang sangat, lantaran sudah hampir setahun ini ia tidak pernah balik dusun.
            Menurut rencana, waktu selepas lebaran ini ia balik, terhitung sebulan dari masa sekarang. Ia hendak membelikan baju kurung bermotif mawar untuk emak. Kira-kira tiga hari menjelang lebaran. Namun apa hendak dikata, kabar yang ia dapat begitu mendadak menyeruak. Apalagi saat sekarang ia tak punya sepeser duit pun, duit terakhir telah ia bayarkan ongkos angkot hijau yang ia tumpangi tadi. Singgah di Pasar baru, terus berjalan sejauh dua kilometer mencapai tempat ini.
            Cepatlah! Beritahu mamak Andi, nanti keburu Magrib. Ia telah di masjid, lalu mengganti pakaian di kamar. Di masjid Gunung Nago ini ia tinggal, selain sebagai garin, ia juga sebagai guru tpa. Tinggal di sini semenjak enam bulan di Padang, ia sendiri yang mencari, ia lakukan ini disamping meringankan beban orang tua, ia juga harus terus mengulang-ulang kaji dengan mengajar, menjadi imam, azan serta bermasyarakat.
            Setelah dirasa siap, dengan di antar dua motor di sana, mereka melaju kencang menuju simpang Lubuk Begalung. Mengambil bus malam, jurusan Padang-Bangko. Menghabiskan waktu selama sejam berselang.
            Saat balik kali ini, ia rasa tak tenang saja, gelisah itu terus menyelinap di benak. Namun ia hanya berprasangka baik, besok Shubuh, ia akan lihat Bangko, lalu dusunnya, di dusun ia berniat dalam hati, orang  pertama yang akan ia peluk dan cium lama adalah emak, ia tak perduli emak sedang apa, sholatkah, menyapukah, atau sedang masakkah. baru setelahnya bapak lalu adik-adiknya, Dasir dan Rengga.
            Sampai di dusun jam 03.12 sore. Ia agak terlambat, lantaran bus yang ditumpangi rusak di tengah jalan. Heran, semua mata tertuju padanya sejak dari persimpangan hingga mencapai depan rumahnya. Ia sendiri bingung, kenapa. Orang-orang telah ramai memenuhi halaman rumah, ia belum juga mengerti akan misteri ini. Dan tak lama setelahnya, ia melihat mamak Mukhlis membawa cangkul bersisa tanah, lalu pak ngah Suharja berlari kencang ke arahnya. Emakmu sudah tiada nak! Raungannya jelas terdengar menusuk dan menembus ke dalam jantungnya. Bertambah histeris lagi, adik-adik mungilnya yang malang ikut menangis keras, orang-orang yang tak tahan melihat ikut pula menangis.
            Apa! Berteriak Irza kaget setengah tak percaya, Cuma itu saja yang keluar dari mulutnya, selepas itu rebah ke tanah dan tiada ingat apa-apa lagi.
*          *          *
            Selepas kejadian itu. Ia tiada berselera lagi hendak balik ke dusun. Kalau pun ada itupun hanya waktu lebaran Idul Fitri.
            19 Mai 2007, wisuda sarjana angkatan ke II. Bapak dengan istri baru, adik-adiknya, kakek, mak ngah Impirahmi dengan ke lima anaknya, mak Yul serta, mak wo turut serta pula ikut. Ramai, riuh, bercampur baur menjadi satu. Selama tiga hari mereka di Padang, hari pertama menyaksikan ia wisuda, hari kedua belanja ke Pasar Padang, dan hari selanjutnya jalan-jalan keliling Sumatra Barat.
            Sebelum balik ke dusun. Di terminal mereka berpesan, setelah mengambil akta iv, cepat pulang, janganlah nak kawin di rantau orang, gadis di dusun awak masih banyak. Menyela pula mak wo Ilmi, kalau kau kawin di Padang, aku tak nak melihat kau baralek besok. Insyaallah, insyaallah! Katanya.
            Sehabis menamatkan S I, sedikitpun tak terniat di hatinya untuk balik dusun. Balik ke dusun sama saja ia telah mematikan langkahnya. Terbayang olehnya Jakarta sana. Ia hendak menggapai kota itu, bagaimanapun cara, namun itu adalah cita-citanya. Ia hendak mendapatkan tuah di sana. Sangat ingin ia tinggal di kota metropolitan itu. Lain waktu ia pernah dengar cerita teman, kalau Jakarta itu sangat gemerlap, tak ada beda siang dan malam. Orang-orang ramai, gedung pencakar langit menjulang tinggi, jalan-jalan layang bertingkat-tingkat. Semuanya serba wah.
            Ia sangat tergiur akan cerita temannya. Sebab ia sendiri pernah ke sana. Tapi itu dulu, semenjak ia masih duduk di kelas dua SLTP. Saat sekolah mengadakan studi banding ke kota itu. Ketika itu ia masih lugu, belum begitu banyak mengerti seperti apa yang ia alami sekarang. Ia ingat betul waktu itu, bapak menyuruh memakaikan celana pendek, di sana ada kantong yang dijepit peniti, terus dalamnya di taruh uang sebanyak Rp 350.000. celana itu dipakaikan di dalam, terus ditutupi celana panjang di luarnya. Untuk uang saku di luar di berinya beberapa lembar duit sepuluh ribuan sebanyak delapan lembar. Sebelum berangkat, bapak berpesan agar selalu hati-hati.
            Dalam kamar sunyi senyap. Gerimis yang sedari tadi telah berganti rintik-rintik hujan. Bagai buah simalakama, ia bingung menentukan dua pilihan. Balik lagi ke dusun, sama saja artinya membuat karirnya terhenti. Lanjut merantau ke Jakarta, ia harus siap-siap di terkam kekejaman ibu kota.

Padang, 19 Januari 2008
Embun Penyejuk Hati


Dusun  : desa
Bujang: pemuda lajang yang belum beristri
Balik: pulang
Mak ngah: tante/ adik kandung dari ibu
Mak wo: kakak kandung dari ibu


Tidak ada komentar:

Posting Komentar