Senin, 20 Februari 2012

Cerpen

PESAN EMAK
Cerpen Zahirin al-Ama

            “Aku lulus tes mak…! Aku lulus…!” Seruku pada emak di muka rumah. Ketika emak sedang menyapu teras luar. Emak menyambutku gembira. Emak sangat senang dan bangga. Aku sendiri, hatiku berbunga-bunga. Aku merasa hari ini adalah hari paling bahagia dalam hidupku. Betapa tidak, cita-citaku ingin kuliah akhirnya kesampaian.
Tadi aku pergi ke ibukota kabupaten. Mencari wartel buat menelepon mamak Aswandi di Padang. Kebetulan wartel adanya hanya di ibukota kabupaten. Aku ke wartel ada keperluan penting. Buat menanyakan keluar atau tidaknya nomor tes masuk perguruan tinggi yang aku ikuti dua minggu lalu. Hari ini adalah hari yang menentukan diterima atau tidaknya aku di kampus IAIN Imam Bonjol Padang. Di kampungku tidak ada telpon. Aku sendiri, juga tidak memiliki handphone. Di kampungku orang-orang yang memiliki handphone hanya beberapa saja. Itu pun harus dibantu dengan memakai anterna, lantaran tidak ada sinyal seperti di kota-kota. Sinyal yang ditangkap oleh antena itu adalah sinyal dari BTS seluler ibukota kabupaten, yang berjarak kira-kira 11 kilometer dari kampungku. Itu pun kurang jelas. Kadang ada. Kadang hilang.
 “Alhamdulillah. Anak bujang emak lulus.” Emak mengucap syukur. Aku duduk di atas pagar semen pembatas teras rumah. Tingginya kira-kira sepinggang. sambil menyapu. Emak bertanya. Emak ingin mendengar kabar selanjutnya dariku. “Terus kapan jadinya kau ke Padang?”
“Kata mamak Aswandi harus besok. Besok aku harus berangkat ke Padang buat daftar ulang.” Kataku dengan wajah berseri-seri yang tak dapat kusembunyikan.
“Besok?!” Emak agak kaget. Sepertinya ia terkejut. Mungkin karena kepergianku begitu mendadak. Tak memberi waktu beberapa hari lagi buat bersama. “Kalau begitu,” kata emak melanjutkan, “susunlah pakaianmu itu dalam tas jinjing bapak kau itu, baju, celana jangan kau bawa semua. Tinggalkan beberapa helai di sini. Nanti kalau kau balik liburan. Atau balik dalam bulan puasa. Kau tidak perlu bolak-balik menjinjing pakaian pulang pergi. Berat. Cukup pakaian di badan kau itu saja. Besok emak akan bungkus nasi untuk kau. Untuk makan di jalan. Biar sedikit menghemat uang.
            Seperti telah diwanti-wanti oleh mamak Aswandi. Besok aku harus berangkat ke Padang buat mendaftar ulang. Waktu pelaksanaan daftar ulang selama seminggu setelah nomor tes dinyatakan keluar. Lewat dari batas itu maka tidak diterima. Dianggap mengundurkan diri, atau batal menjadi mahasiswa baru. Begitu pesan mamak Aswandi dalam telpon itu. Dengan demikian tinggal sehari ini aku di sini. Tinggal sehari ini aku bersama bapak, emak, dan adik-adikku. Karena besok hari, ketika mentari menampakkan diri di ufuk timur,  aku akan pergi meninggalkan mereka semua. Meninggalkan orang-orang yang tercinta. Meninggalkan bapak, emak dan adik-adikku. Meninggalkan teman-temanku. Meninggalkan kampung halamanku.
Malamnya sebelum tidur. Pada saat bapak sedang mengopi, membaca al-qur’an terjemahan. Dengan kopiah nasional yang masih melekat di atas kepala. Serta kain sarung yang masih melekat terpakai. Dan dengan menghisap sebatang rokok di bibir ia sangat serius membaca Al-Qur’an terjemahan peninggalan almarhum kakek itu. Setelah menghisapnya lalu asapnya dihembuskan begitu saja ke udara. Dan di saat para adik-adikku, Dasir dan Rengga sedang mendengarkan musik dangdut dari tape recorder. Kami semua berkumpul di ruang tengah. Malam ini kami lengkap, semuanya hadir di rumah saat ini.
Malam ini emak berpesan padaku. Emak berpesan ketika bapak terus saja asyik dengan Al-Qur’an terjemahannya. Menyandar dekat dinding dekat jendela sehabis sholat Isya. Di rumah, aku lebih dekat dengan emak ketimbang bapak. Sejak kecil hingga menginjak usia remaja ini. Kalau meminta uang aku tidak langsung pada bapak, tapi dengan emak. Aku pun tidak berani duduk lama mengobrol dengan bapak, aku sangat segan sekali. Walau bapak orangnya tidak pemarah. Tapi aku merasa segan saja. Yang berani bercanda dengan bapak itu adikku. Saban hari di rumah. mereka sering bergurau-gurau. Apalagi pada Rengga, adik bungsuku.
“Nak, setelah di Padang nanti ada tiga hal yang mak pesan pada kau, agar kau selamat, agar kau menjadi orang.” Aku mendengar dengan seksama. “Yaitu, berpandai-pandailah dengan uang, sholat jangan pernah tinggal, dan larilah dari perempuan jinak.” Aku mengangguk-angguk paham, kalau di rantau tentulah harus berpanda-pandai dengan uang. Kalau tidak tentulah akan mati tidak makan. tidak ada ongkos buat kuliah. Mengenai sholat, aku teringat sama guru mengajiku di surau dulu guruku mengatakan; bahwa sholat itu mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar. Namun akhir-akhir ini aku sering melalaikan sholat. Untuk melaksanakan sholat lima waktu sehari-semalam sangat berat terasa. Berbagai macam alasanlah. Letih pulang sekolah, tertidur, sedang mandilah dan banyak lagi yang tak bisa kusebutkan satu persatu. Tapi mendengar pesan emak ini aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk terus melaksanakan sholat. Kapan pun dan bagaimana pun.
Tapi pesan emak yang terakhir, mengenai larilah dari perempuan jinak. Aku tidak mengerti apa maksud emak ini. Mengapa harus lari dari perempuan jinak? Dan seperti apa sebenarnya rupa perempuan jinak itu? Akhirnya emaknya menjelaskan siapa dan bagaimana perempuan jinak itu.
“Perempuan jinak itu adalah perempuan yang mau membiarkan dirinya dipegang-pegang oleh orang lain. Diapa-apain oleh orang lain ia diam saja. Tidak berontak. Tidak melawan. Perempuan seperti itu yang harus kau waspadai. Jangan kau dekati. Karena perempuan seperti itu bisa menjerumuskanmu.” Mendengar penjelasan emak ini aku teringat akan teman-teman perempuanku satu sekolah di MAN dulu, Lili, Fitri, Elita. Bersama dua orang teman laki-laki, Hendra, Ihsan. Waktu itu kami berpasang-pasangan pergi ke air terjun di belakang sekolah. Kejadiannya beberapa tahun lalu. Kami mengadakan acara makan-makan setelah menerima rapor semester. Jalan menuju ke air terjun agak  terjal, berbatu-batu, sedikit bersemak-semak. Tentulah teman-teman perempuan itu kami bimbing. Berpegang tangan berpasang-pasang. Dan teman-teman perempuan itu diam. Berarti teman-teman perempuanku itu perempuan jinak? Perempuan yang mau dipegang seperti yang dituturkan ibu. Aku belum tidak habis mengerti. Kalaulah perempuan jinak yang dimaksudkan emak adalah seperti teman-teman perempuanku itu, kenapa pula mesti harus dijauhi. Walau aku kurang mengerti, namun aku pura-pura mengerti, seolah-olah paham yang diucapkan ibu. 
“Tujuan kau ke Padang itu untuk kuliah. Untuk menuntut ilmu Kalau mau cari perempuan, carilah perempuan yang baik-baik, itu pun nanti, setelah kau tamat kuliah. Setelah kau dapat kerja. Berpenghasilan. Baru emak izinkan kau untuk kawin.” Aku mengangguk-angguk. Membenarkan apa yang diucapkan emak. Dan bertekad akan menjaga pesan-pesan emak itu dengan baik.
*          *          *
            Pagi-pagi sekali aku bangun. Sholat Shubuh, mandi, makan. Aku pun telah berpakaian rapi. Berbaju kemeja dengan jaket warna hitam bergaris-garis putih di tengahnya, bercelana levis, dan bersepatu sport.  Sepatu aku waktu masih sekolah di MAN dulu. Pagi ini aku telah bersiap-siap untuk berangkat ke Bangko, ibukota kabupaten. Di luar, bapak telah memanaskan mesin motor. Motor RX King yang dibeli bapak dari kakek tiga tahun lalu. Lantaran kakek ingin membeli motor yang baru pula waktu itu. Jadi motor itu dijual murah saja pada bapak.
            Tas jinjing berisi pakaian dan barang-barang telah di atas motor. Di depan rumah emak melepasku. Emak menggendong Amelia, adik sepupuku. Anak dari makngah Im. Makngah Im adalah Adik kandung emak. Di samping emak dan adik-adikku, ada anak-anak makngah Im, yang juga adik sepupuku. Riki, Badrul, Leri, Minal. Ada kakek, ada nenek,  dan beberapa orang tetangga dekatku.
            Aku menyalami emak. Lalu memeluknya. Emak mencium kedua pipiku. Ia tak kuasa membendung air matanya. Emak menangis. Aku pun merasa pilu. Aku akan pergi jauh. Pergi menuntut ilmu. Entah sampai kapan. Entah bila masanya bersua kembali. Aku tidak tahu.
            Berikutnya aku menyalami tetangga-tetanggaku. Pak wo, mak wo, ayuk Nurina, mamak Samson, makcik Darni. Mereka mengucapkan selamat jalan padaku. Hati-hati di jalan. Begitu kebanyakan pesan yang aku terima. Setelah itu aku pamit berangkat menuju ibukota kabupaten dengan bapak. Motor melaju pelan. Aku lihat emak melambai-lambai tangan. Air matanya semakin deras mengalir. Aku semakin pilu. Di belakang sana, kulihat emak semakin jauh di kejauhan. Meninggalkan emak yang menangisiku.
*          *          *
            Beberapa tahun di Padang.
            Aku benar-benar melaksanakan pesan emak tersebut. Mengenai uang belanja yang dikirimi bapak untuk sebulan agar tidak kebablasan. Habis sebelum datang kiriman bulan selanjutnya. Maka aku buatkan daftar keperluan belanja, keperluan foto kopi bahan-bahan kuliah, perlengkapan mandi, dan banyak lagi yang tidak kusebutkan satu-satu. Pun demikian halnya dengan sholat. Kebetulan tempat kosku dekat dengan mushalla. Kadang-kadang aku menyempatkan diri sholat berjama’ah. Aku sudah bertekad dan berjanji tidak akan mengecewakan emak.
            Kuliahku lancar. Tidak ada halangan apa pun. IP yang kuperoleh cukup memuaskan. Suatu waktu aku membawa berkas-berkas nilaiku itu pulang. Kuperlihatkan sama emak. Emak bingung. Kenapa nilai dalam kertas-kertas itu tidak ada angka sembilan. Padahal dulu, ketika aku sekolah, aku selalu mendapat angka sembilan, paling rendah angka tujuh.
            “Tidak belajar kau di sana, Alawi?” Tanya emak padaku agak kecewa. “Kok, nilai-nilaimu tiga, empat, tiga, empat semua.” Aku tertawa geli. Aku menjelaskan pada emak, kalau kuliah itu tidak sama dengan sekolah. Nilai kuliah paling tinggi itu empat. Kalau dapat empat berarti itu nilainya A. A itu artinya sangat baik. Jadi tidak ada lima, enam, tujuh sampai sembilan. Mendengar penjelasanku itu emak senang. Emak mengangguk-angguk. Lalu mencium pipi kanan pipi kiriku.
*          *          *
Di suatu malam yang hujan. Dingin merasuk sunsum. Ketika aku berjalan pulang ke kos sehabis latihan beladiri di kampus. Kulihat seorang perempuan tergeletak di pinggiran jalan raya. Tidak ada orang. Jalanan pun lengang. Dengan perasaan was-was. Takut. Aku paksakan kaki ini berjalan menghampiri. Sesekali aku melihat ke kiri dan ke kanan. Tubuh perempuan itu nampak jelas. Dadaku tambah berdegup kencang. Mungkin perempuan ini habis dianiaya, diperkosa. Lalu dibuang begitu saja di sini. Aku menduga-duga. Mereka-reka. Segera saja ketika itu aku pegang urat nadi di pergelangan tangannya. Ternyata berdetak. Masih hidup, gumamku. Segera saja waktu itu aku beri nafas buatan. Seperti yang pernah diajarkan oleh para trainer pelatihan di kampus. Beberapa saat setelah itu perempuan itu siuman. Aku lega.
            Perempuan itu duduk dan berdiri dengan bantuanku. “Kamu tinggal di mana?” Tanyaku agak keras. Mengalahkan suara deru hujan yang meluncur.
            Perempuan yang kutanya itu hanya menggeleng-geleng, “aku tidak punya tempat tinggal. Aku tinggal sepanjang jalan. Sepanjang kota. Di mana saja.” Jawab perempuan itu dalam keadaan masih sempoyongan.
            “Sepanjang jalan, sepanjang kota, di mana saja.” Kataku dalam hati. Aku bingung, tidak mengerti maksud perempuan ini.
            “Ya, aku hanya perempuan jalang.” Aku terperanjat kaget mendengar penuturannya. “Aku adalah perempuan yang hidup dari para lelaki hidung belang. Rasanya dosaku ini sudah tak terampuni lagi.” Perempuan itu menangis. Kulihat, sepertinya ia sangat menyesali perbuatannya itu.
            “Bersediakah engkau memberiku istirahat barang sejenak di rumahmu?” Mendidih darahku. Belum habis rasa kagetku. Kali ini ditambah pula permintaannya yang sangat tak masuk akal itu. Mana mungkin aku harus membawa perempuan ke kamar kosku. Bisa digebuki oleh para pemuda-pemuda di lingkungan kosku. Bisa dibotaki bahkan ditelanjangi oleh warga. Lalu diarak sepanjang jalan.
            Aku ingat pesan emak, “hati-hati dengan perempuan jinak.” Dan perempuan ini adalah perempuan jinak. Kalau tidak jinak mengapa juga ia harus tinggal sepanjang jalan. Sepanjang kota. dan tinggal di mana-mana.
“Maaf, maaf, aku tidak bisa.” Kataku jelas. Tegas. “Kita bukan suami-istri.” Setelah berucap demikian aku berlalu pergi meninggalkannya. Walau pun aku kasihan dengan perempuan itu. Tapi aku harus menjaga pesan emak. Perempuan itu terdiam tiada memberontak. Tiada pula memohon-mohon. Sepertinya perempuan itu akan tetap di jalanan entah sampai kapan.
*          *          *
            Malam ini aku harus pulang kampung. Mendadak. Itu pesan dari orang kampung kepada mamak Aswandi. Kutanyakan perihalnya. Mamak Aswandi tidak menjawab. Ia hanya mengatakan. Bahwa orang kampung menyuruhku pulang. Itu saja. Tentu saja aku sangat senang karena dapat pulang kampung disaat-saat aku sibuk kuliah seperti ini. Aku membayangkan bertemu dengan emak. Setahun tidak pulang. Aku berjanji, sesampainya di rumah nanti aku akan memeluk emak. mencium emak lama-lama. Tidak peduli ia sholat, menyapu, mencuci piring, masak di dapur atau entah apa saja yang emak kerjakan.
            Sesampainya di Bangko agak terlambat. Sore hari. Lantaran bus yang kutumpangi rusak. Aku menyetop ojek. Tidak tahan lagi rasanya bertemu dengan emak, dengan bapak, dengan adik-adikku. Ojek yang kutumpangi melaju perlahan ke kampungku. Sampai di simpang kampung. Aku melihat orang ramai-ramai pulang dari kuburan. Ada bapak, kakek, nenek, mamak Suharja, dan orang-orang lainnya. Dadaku berdegup kencang. Siapa yang meninggal? Aku bertanya-tanya. Emak…, emak…! kenapa aku tidak melihat emak…! Degup dadaku bertambah kencang.
            Mamak Suharja menantiku di depan. Ojek yang kutumpangi berhenti. Mamak Suharja merangkulku. Memelukku erat-erat. “Emakmu nak, emakmu telah tiada.” Aku terkejut tidak percaya. Lalu rebah. Dan aku tidak ingat apa-apa lagi.

Embun Penyejuk Hati

Bangko, 28 Desember 2009
Email   : al_ama84@yahoo.com

Ket:
1. Mamak             = paman
2. makngah          = adik perempuan dari ibu
3. mak wo             = kakak perempuan dari ibu
4. pak wo              = kakak laki-laki dari ayah
5. ayuk                  = kakak perempuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar